Premium WordPress Themes

Sabtu, 20 Juli 2013

Derita Anak - anak Jalanan

Oleh Theresia Fransiska Tekege )*

Saat ini, dengan  semakin terbukanya Papua menerima arus transmigrasi, imigran gelap dari luar Papua yang tidak terkendali, ada fenomena yang patut kita cermati. Fenomena itu menyangkut anak-anak jalanan asli Papua: berambut keriting, berkulit hitam.

Banyak anak jalanan di beberapa Kabupaten/kota di Papua, yang tidak terurus kehidupannya. Mereka berpindah-pindah bahkan hingga keluar kota untuk memperoleh nafkah, demi hidup. Banyak kerja mereka: mengais sampah, mengambil dan memungut barang bekas yang dapat dijual kembali, seprti kaleng, botol, dll. Bila kita bicara soal keadaan mereka, jelas memprihatinkan. Baju mereka tidak layak pakai. Tempat tidur mereka di jalanan, emperan toko. Karton jadi kasur mereka. Karung jadi tas mereka. Hanya satu d yang ada di pikiran mereka: makan untuk terus hidup.

Hidup sebagai anak jalanan, bila diteliti, sebenarnya tidak diingini siapapun, termasuk oleh para anak jalanan ini. Mereka terpaksa menjadi anak-anak jalanan karena berbagai faktor.

Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

Zely Ariane, Koordinator NAPAS
Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator. Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.

Aku Peluru Ketujuh

Jenasah Mako Tabuni dimakamkan. Foto: Ist.
(untuk mengenang kembali setahun kematian sang pahlawan, Musa Mako Tabuni, pada 14 Juni 2012)
Malam masih mengepakkan sayapnya, menyelimuti kota tua di pantai utara Papua, kota Hollandia. Kota tua itu punya sejarah, menjadi pelaku sejarah, sekaligus menjadi saksi bisu atas serentetan peristiwa sejarah yang mengalir bagai air.
Subuh itu tepat pada hari Kamis. Udara sepi, tidak berseliweran sebagaimana biasa setiap pagi. Di Abepura, seputaran lingkaran Abe, Ekspo, Waena, semua jalanan masih sepi. Baru pukul 4 pagi. Begitu juga dengan kota Jayapura yang terletak tepat di bibir pantai utara.
Sentani juga begitu tenang. Ketenangan dan keheningan itu bertentangan dengan jiwa sebutir peluru yang sedang berlari kencang. Ia terus berlari, berlari dan berlari. Nafasnya tersendat-sendat.

Terjadinya Cenderawasih

Cenderawasih Papua. Foto: birdchannel.blogspot.com
Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.
Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Kau Hendak Kukasihi Hingga Ajalku!

Adhen Dimi. Foto: Dok. Pribadi
Oleh: Adhen Isodorus Dimi
Papua adalah salah satu Pulau yang kaya secara alam dan budayanya. Pulau Papua yang terletak di Pasifik ini memiliki lebih dari 250 suku bangsa.  Mereka punya banyak budaya, dan tradisi yang unik untuk masing-masing suku bangsa.
Semua suku di Papua Barat memunyai bahasa sendiri-sendiri. Suku-suku ini menjunjung tinggi bahasanya sebagai alat komunikasi dalam aktivitas sehari-hari mereka. Papua juga memiliki alam yang begitu banyak kekayaan alam. Sampai-sampai orang luar menyebut Papua sebagai 'surga kecil yang jatuh ke bumi.'
Burung-burung berkicau menyambut pagi yang cerah. Tumbuhan melambaikan daunnya di tiup angin. Bukit emas dan tembaga yang memancarkan cahaya diterpa mentari pagi.
Ikan-ikan di lautan bermain ombak dan gelombang pagi. Mentari pagi bersinar cerah mengajak anak negeri untuk menikmati indahnya Pulau Papua. Orang-orang tua duduk di perapian dengan senyuman yang polos dan tua-tua adat di rumah adat hanyutkan hari dalam tawa akan masa depan anak cucunya yang pasti.

Malas Kerja Bukan Kebudayaan Orang Papua Barat*

Adhen Dimi. Foto: Dok. Pribadi
Oleh Adhen Isodorus Dimi)*Budaya rakyat Papua Barat  adalah budaya kerja keras. Sejak kecil,  orang tua kami telah ajarkan kami untuk bisa bekerja. Kami ingat kata leluhur kami dari dulu; 'kalo ko mau hidup, usaha. Kalo ko mau makan, kerja.'  
Orang yang tidak bekerja tidak bisa makan, karena untuk bisa makan inilah manusia harus bekerja.  Untuk mendapat sesuatu, orang dituntut berusaha meraih impiannya itu. Dan untuk memeroleh impiannya itulah, ia berusaha.
Bagi saya secara pribadi, budaya kerja kami orang Papua, misalnya saja dalam suku bangsa Mee, ada yang unik dalam budaya kerja kami. Apa yang unik? Yakni bahwa kami bekerja bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk sesama yang lain di sekitar kami hidup, kerabat, dan demi kemanusiaan.  Bukan demi nama baik gaya Indonesia yang kini popular.
Bagi kami dahulu, kewajiban orang adalah berbuat baik. Nama baik akan mengikutinya dari belakang. Nama baik bukan hal yang dituju untuk dicapai. Bukan. Yang ingin dicapai adalah kehidupan bersama yang damai. Barulah, bagi orang yang berhasil menciptakan kedamaian, nama baik akan melekat padanya. 

Kami Butuh Pendidikan yang Layak

Mikael Kudia. Foto: Dok. Pribadi.
Oleh Mikael Kudiai*
Pada dasarnya, pendidikan merupakan salah satu cara dimana kita manusia belajar untuk mengetahui segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Pendidikan juga tidak terlepas dari pengaruh dan keberadaan lingkungan sosial, dimana saja kita berada. Pendidikan menjadi aspek utama untuk meraih cita-cita atau tujuan hidup kita. Pendidikanlah yang menjadi salah satu penunjuk dan penunjang hidup kita dalam mencapai tujuan hidup kita sebagai manusia.
Dalam hal ini, saya ingin berbicara dan mengungkapkan pendapat tentang masalah pendidikan itu sendiri.

Bumi Cenderawasih

Sumber:Ilustrasi
Di barat  Pasifik
Kau berdiri gagah, megah
Simpan  ribu-ribu misteri
kau tanahku, negeri  Cenderawasih.

Subur, beri hidup tanpa menabur,
Butir embun saljumu manjakan hutan,
saatnya nanti, hutan manjakan fauna
Dan saatnya pula,
Flora fauna Papua manjakan manusia hitam berhati putih.

Gumpalan emas tiada ternilai kau kandung
dari pusarmu, butiran-butiran minyak dan gas melimpah
Nyanyian burung nan merdu,
Indah, syadu
Menyambut datangnya fajar,
menghantar perginya mentari ke peraduan.

Suara Hati Berbicara*

Di waktu itu, sebuah bencana alam terjadi. Dataran rendah di pingiran pelabuhan Nabire. Banyak orang berteriak untuk meminta pertumpangan tangan dari para penolong. Di kala itu ada seseorang berinisial ALAY, beterbangan di udara dan melihat setiap jeritan dan tangisan orang-orangnya.
Sebuah Kapal besar bersandar dan berdatanglah orang-orang ini di dalam kapal yang berukuran besar itu. Kapal ini sangat besar dan bersedia untuk menampung setiap orang-orang dari setiap suku di pulau Papua ini yang jumlahnya tak kunjung habis. Kapal ini berwarnah putih dan selalu berlayar di dalam ombak-ombak yang sangat besar.
Berjalanlah si ALAY ini dengan sang kekasihnya di dalam kapal ini. Sunguh, di setiap sudut kapal ini terdapat suku-suku Papua, dan sesampai di ujung kapal ini, terdapatlah suku Mee. Terdengarlah sebuah suara yang tidak dikenal dari mana datangnya, bahwa ini adalah sukumu, mereka membutuhkanmu.
Berjalanlah si ALAY lagi ke bagian luar kapal itu dan terlihatlah ombak-ombak yang selalu melawan arah ke mana kapal ini berlayar. Banyak perahu boat kecil yang biasanya disediakan oleh si kapten kapal ini sebagai cadangan jika malapetaka datang untuk menghadapi kapal ini.
Namun sayang, semua boats kecil sudah terpakai habis di waktu silam.

AGAMA DAN IDEALISME PAPUA

 A. Pendahuluan
Bung Husaini Daud (m. nazar), berkenan menulis sebuah artikel dan menyuguhkan dihadapan kita dengan pembahasan yang sangat menarik berjudul :“Bola Panas Aceh Serambi Mekkah di Ujung Barat dan Manukwari Kota Injil di Ujung Timur”. Tulisan itu menarik karena selainmembuka wawasan baru bagi kita juga mencoba membuka kedok dibalik jargonisasi yang terkesan indah dipermukaannya namun mengandung racun dan didalamnya menyimpan bom waktu adalah pemakaian agama sebagai alat belenggu kebebasan manusia. Namun lebih menarik bagi saya sehingga mau di tanggapi di sini karena ada pesan khusus agar saya tetap idealis.

Tulisan ini sebagai respon padanya saya persembahkan di sini. Insya Allah, idealisme saya belum pernah luntur. Saya tetap idealis. Saya karena apa, entah, tapi tetap mencintai diri sebagai Muslim Papua, walau kadang saya keluar dari dogmatisme ajaran islam misalnya kepercayaan setelah mati dan rukun iman lainnya (astaghfirullah, mungkin saya, murtad dan sudah kafir). Karena itu bila saya menulis di sini, sebelumnya saya mohon maaf kepada semua pemeluk Agama, bahwa saya menulis tidak sebagai seorang pemeluk agama, agama apapun.Saya menyoroti sebagai pihak luar, bukan sebagai penganut salah satu agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam), dan agama bumi lainnya seperti Hindu, Konghucu dan Budha. Saya "keluar" untuk netral, dari posisi penganut salah satu agama. Agar saya dapat mengembangkan idealisme Papua secara bebas. Untuk itu di sini saya akan campakkan semua dogmatisme agama yang membelenggu kebebasan berfikir saya untuk mengembangkan idealisme Papua. Walau diakui bahwa mengambil posisi seadil-adilnya dalam agama sulit karena kita sudah terlibat didalamnya. Namun saya tetap berposisi sebagai masyarakat adat Papua untuk menghadapi semua agama semit.

KOTAK KOMENTAR

Nama

Email *

Pesan *