Premium WordPress Themes

Jumat, 09 Agustus 2013

Lirik Lagu Aku yang Dulu, Tegar

Aku Yang Dulu Bukanlah Yang Sekarang
Dulu Di Tendang Sekarang Ku Di Sayang
Dulu Dulu Dulu Ku Menderita
Sekarang Aku Bahagia

Cita Citaku Menjadi Orang Kaya
Dulu Ku Susah Sekarang Alhamdulliah
Bersyukurlah Pada Yang Maha Kuasa
Memberi Jalan Untuku Semya

JALAN MAMBESAK

Ide ini berjalan dengan sendirinya
Gagasan ini berjalan dengan sendirinya
Nurani ini berjalan dengan sendirinya
Pemikiran ini berjalan dengan sendirinya

Tak bisa dibendung
Tak bisa ditunda
Tak mampu juga untuk mengatakan Tidak
Dia telah berjalan secara alamiah

PESAN ANAK JALANAN

Dari lampu merah Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Sepasang anak kecil bernyanyi setengah hati mencoba menghibur tepat jam sepuluh malam.
Bukan suara nyanyian atau melodi nada ukulele yang menjadi perhatianku.
Bukan tatapan penuh melas mengiba uang recehan yang menggetarkan hati.
Tak ada uang recehan yang layak untuk semua usaha di kota yang mati.
Mereka tak layak menerima recehan yang hanya akan menjadikan dirinya sampah.

PESAN DARI ANAK JALANAN

Tubuhku masih mungil, tapi beban ini begitu berat
Tak banyak yang bisa aku kerjakan
Hanya mangkuk kecil yang selalu menemaniku
Di kala terik matahari membakar kulitku
Di kala hujan membasahi tubuhku ini
Semua itu demi recehan dari uluran tangan mereka..
Aku ingin mengadu, tapi kepada siapakah aku mengadu??
Aku tak memiliki orang tua lagi, hidupku sebatang kara..
Aku tak begitu mengenal Tuhan..
Tak ada yang mengajari akan hal itu
Yang aku tahu, kini aku hidup dalam dunia kardus
Dunia yang hampa, tak ada yang mewah dari hidupku ini
Hanya kekerasan yang selalu menjadi tontonanku..
Aku ingin lari, tapi aku sadar takkan ada yang mengejarku
Hanya satpol PP yang terkadang menghancurkan rumahku..
Jika itu terjadi, aku hanya bisa tidur dengan berselimut Koran di depan ruko..
Aku menangis kelaparan, tak ada yang mendengar..
Tubuhku lemah, aku memilih tempat sampah sebagai energiku..
Disana ku dapati banyak makanan basi yang di buang..
Aku tak punya pilihan, aku memakannya..
Aku tak pernah berpikir akan kesehatanku
Jika aku mati mungkin lebih baik
Jika dibandingkan kalau aku hidup terus di jalanan… 
==================================================

Sumber:Remember For Things 

RAKYAT

Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
 Budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan (Kompas, 13/10/2012). Tetapi pertanyaan yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana jika rakyat kita sudah ketularan mental partai politik yang instan, serba uang, dan asal memilih pemimpin? Perlu rasanya ada semacam follow up dari pemikiran Cak Nun yang kemudian diimplementasikan di lingkungan masyarakat, baik di ruang pendidikan seperti sekolah, tempat-tempat ibadah, agar lembaga pendidikan tidak hanya menjadi lembaga pencetak ijazah dan (minimal) rakyat sadar akan karakteristik pemimpin masa depan yang bisa memikirkan mereka.
Suatu waktu, saya pernah mengantar teman saya yang ingin berbagi dengan masyarakat di daerah Gunung Kidul. Ketika teman saya datang ke rumah-rumah, membagikan beras, minyak goreng, amplop yang berisi uang, pertanyaan yang muncul dari rakyat, “ini dari partai apa?”, di lain tempat “ini dari calon yang mana?”, di tempat yang lain lagi, “saya harus milih gambar apa?”. Sungguh ironis sekali saya mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal kami tidak punya kepentingan apa-apa, kecuali hanya berbagi dengan mereka. Kami tidak membawa kamera layaknya para “selebritis” partai politik.
Di waktu yang lain, di sebuah kampung di Sumenep, menjelang pemilihan pemimpin atau calon legislator, gambar-gambar yang mencitrakan diri mereka sebagai sosok terbaik untuk dipilih bertaburan di sudut-sudut desa, orang-orang di lingkungan kampung itu berujar, “pokoknya tongket kentos” yakni settong saeket lebbi sekken saratos artinya satu suara lima puluh ribu, lebih kuat seratus ribu. Jika tidak seperti itu, rakyat mengancam untuk tidak datang ke TPS. Demokrasi macam apa ini? Rakyat (yang dianggap Cak Nun sebagai Tuhan) macam apa ini? Apakah rakyat sudah merasa bahwa tidak ada pemimpin yang layak untuk dipilih? Tidak ada calon legislator yang pantas mewakili mereka di parlemen? Atau ini sudah tiba di zaman edan, sehingga rakyat yang dianggap sebagai tuhan juga ikut edan.
Ternyata bukan hanya pemimpin yang harus punya hati nurani, rakyat pun butuh hati nurani. Jika rakyat yang memegang kedaulatan penuh dalam negara demokrasi, memilih wakil-wakilnya di parlemen, memilih presiden dalam pemilihan langsung secara sembrono, asalkan mendapatkan uang secuil yang hanya bisa habis dalam dua hari, maka jangan salahkan jika pemimpinnya bersikap “gelap mata”, karena mereka harus mengembalikan modal dari ongkos pemilihan yang sebenarnya juga “dijarah” oleh rakyat. Mari kita perbaiki mentalitas rakyat dalam memilih pemimpin, tolak bersama-sama money politic, agar rakyat benar-benar menjadi tuhan dan pemegang kedaulatan dalam tata kelola demokrasi kita.

Mentalitas
Mentalitas buruk rakyat yang menggurita belakangan ini telah mendera sistem demokrasi kita. Tidak jarang belakangan ini ada orang-orang yang melakukan demonstrasi karena mendapatkan bayaran, menjadi jamaah pengajian di televisi karena bayaran, menjadi saksi di TPS ketika pemilihan karena bayaran. Bayaran dan bayaran. Peristiwa ini adalah ironi bagi rakyat kita. Guru-guru di negeri ini berdemonstrasi menuntut bayaran. Mereka berbondong-bondong untuk mengejar sertifikasi agar mendapatkan bayaran yang lebih besar. Sementara muridnya? Yang penting mereka mengajar, entah muridnya mau menjadi orang baik atau tidak, “mereka” tidak ngurus, mau tawuran atau tidak, “mereka” tidak ngurus.
Itulah sebabnya, rakyat kita sudah kehilangan nilai-nilai “kerakyatan”nya. Semangat materialisme telah menjadi nurani rakyat. Kepada tokoh-tokoh bangsa yang punya kepedulian, mari kita perbaiki mentalitas rakyat kita, mulai dari ruang lingkup yang terkecil, dalam keluarga kita masing-masing, lingkungan kampung, RT, RW, Desa, dan Kecamatan. Tak lain dan tak bukan, cara mensyukuri kemerdekaan bangsa ini adalah dengan cara mengembalikan mentalitas rakyat kita pada nilai-nilai kerakyatannya yang hakiki. Mari kita tanamkan kembali wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan kesadaran masing-masing individu untuk menjadi rakyat yang punya hati nurani.
Bangsa ini memang sudah hancur lebur. Kekayaan rakyat yang tertanam di bumi dan laut kita telah dikuasai oleh asing. Undang-undang kita ternyata tidak berpihak kepada hak hidup rakyat. Para wakil rakyat di parlemen yang telah dipilih oleh rakyat ternyata seenaknya sendiri. Jangan salahkan mereka, karena mereka butuh mengembalikan modal pemilihan. Mari kita instropeksi, bagaimana cara kita memilih wakil kita di legislatif.
Jika di tahun-tahun yang akan datang, mentalitas kita dalam pemilihan selalu mengharapkan tongket kentos, jangan harapkan pemimpin atau legislator yang mewakili rakyat di parlemen akan menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Jangan heran, kalau negeri kita yang punya banyak kekayaan di laut, ternyata ikan masih banyak yang mengimpor. Akhirnya, kita hanya bisa merasa sakit, sebagaimana yang digaungkan penyair Sutardji Calzoum Bachri: segala yang tertusuk padamu/ berdarah padaku.*** 

KRITIS KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Kehadiran UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja merupakan bagian dari hak asasi manusia secara universal, namun juga merupakan constitutional rights sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28F perubahan kedua UUD 1945 : "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Setiap informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik, patut diketahui oleh masyarakat, baik itu dari badan publik pemerintah maupun swasta, yang mendapat dan menggunakan dana APBN dan APBD.

CATATAN KRITIS DUNIA PENDIDIKAN NTT

Masih dilansir dalam media di NTT, isu buta aksara sampai dengan tahun 2012 masih tinggi. Ditambah lagi angka putus sekolah dengan kecenderungan perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki menambah semakin tingginya angka buta aksara yang tidak hanya usia non sekolah namun juga usia sekolah. Hal ini tentu sangat jauh dari harapan pemenuhan target MDGs dimana salah satu indikator pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menurut MDGs adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Kelompok penduduk usia sekolah ini adalah kelompok penduduk usia produktif, sebagai sumber daya pembangunan yang seharusnya memiliki pendidikan yang memadai dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Artikel anak Jalanan

Aku Hanyalah Anak Jalanan
Seorang bapak dan ibu menemuiku. Mereka membawa buletin  kami yang terbaru. Katanya mereka mendapatkan buletin itu dari temannya. Mereka memuji-muji buletin kami yang mengisahkan kehidupan anak-anak dampingan. Pembicaraan kami berlanjut pada isi buletin. Akhirnya bapak itu mempertanyakan mengapa terjadi banyak pencurian dalam rumah kami. apakah tidak ada cara untuk menghentikan pencurian?
Apakah aku tidak melaporkan saja semua itu pada polisi?
Mengapa aku masih berusaha melindungi mereka?
Mengapa aku masih bertahan dan menampung mereka? Mengapa tidak menutup saja rumah singgah itu dan membuka pelayanan lain?

Pertanyaan-pertanyaan ini sudah sering kudengar. Ini bukan pertanyaan baru lagi. Aku berusaha menjelaskan bahwa pendampingan anak jalanan itu sulit. Sebelum masuk dalam aktifitas ini aku sudah tahu akan resiko yang bakal aku terima selama pendampingan ini. Mengubah seseorang butuh waktu. Apalagi yang menyangkut nilai dan perilaku. Ini tidak mudah. Butuh proses yang lama dan panjang. Memang gambaranku sebelum masuk itu tidak separah setelah aku menjalaninya selama ini. Banyak kesulitan yang muncul, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

INDAH PADA WAKTUNYA

Ada seorang anak laki-laki yang berambisi bahwa Suatu hari nanti ia akan menjadi jenderal Angkatan Darat. Anak itu pandai dan memiliki ciri-ciri yang lebih daripada cukup untuk dapat membawa nya kemanapun ia mau. Untuk itu ia bersyukur kepada Tuhan, oleh karena ia adalah seorang anak yang takut akan Tuhan dan ia selalu berdoa agar supaya suatu hari nanti impiannya itu akan menjadi kenyataan.

Sayang sekali, ketika saatnya tiba baginya untuk bergabung dengan Angkatan Darat, ia ditolak oleh karena memiliki telapak kaki rata. Setelah berulang kali berusaha, ia kemudian melepaskan hasratnya untuk menjadi jenderal dan untuk hal itu ia mempersalahkan Tuhan yang tidak menjawab doanya. Ia merasa seperti berada seorang diri, dengan perasaan yang kalah, dan di atas segalanya, rasa amarah yang belum pernah dialaminya sebelumnya.

Selasa, 23 Juli 2013

Kisah Menar

Foto Ilustrasi. Sumber: trek-papua.com
Adalah seorang anak laki-laki. Namanya Menar. Ia tinggi, kekar lagi. Pandangannya tajam. Tampaknya seperti seorang pemimpin.
Seperti halnya teman-teman yang lain, Menar rajin mengikuti ibadah. Semua isi Alkitab telah ia kenali. Pada beberapa momen perlombaan Cerdas Cermat Alkitab (CCA), ia keluar sebagai juara. Kerap kali ia mengajari pelajaran Agama kepada teman-temannya.
Orang tuanya berharap ia akan menjadi seorang pemimpin di desa itu. Sehingga, Menar disekolahkan di sebuah SMP yang ada di kota.
Saat berada di bangku SMA, tampak bakat pemimpinnya. Menar tumbuh dewasa. Seiring dengannya, ilmu pengetahuan dan bakat lain yang dimiliki Menar tumbuh jua. Ia mengharumkan nama keluarganya. Keluarganya bangga dengan keberhasilan-keberhasilan Menar.

Di Pantai Pasir Panjang (The Turtle's Beach)

Penyu Belimbing (kiri) dan Pantai Pasir Panjang (kanan).
Foto: Ley Hay
Tambrauw adalah salah satu kabupaten pemekaran baru yang terletak di wilayah propinsi Papua barat. Daerah ini diapit oleh dua kabupaten induk yakni Manokwari dan Sorong sehingga memiliki wilayah yang sangat luas. Keaneka ragaman budaya, bahasa serta pariwisata yang dimiliki Tambrauw membuat wilayah ini begitu unik, belum lagi perpaduan antara penduduk pribumi yang mendiami lembah, gunung, dan pesisir pantai yang memunyai keunikan masing-masing. Woooww, semua terlihat sangat indah.

Saya Tidak Mencarimu...

Ilustrasi berburu. Foto: cabiklunik.blogspot.com
Pada zaman dahulu, di sebuah perkampungan, hiduplah seorang pemuda. Pemuda itu berparas tampan. Ia pekerja keras. Setiap hari, lelaki itu mengurusi ladangnya, karena ia tidak memunyai isteri, untuk membantunya bekerja di kebun.
Kehidupannya damai tenteram. Di kebunnya, berbagai macam bahan makanan telah ditanamnya, dan ia tidak kekurangan satu pun tentangnya. Namun, ada yang kurang dari hidup pemuda ini. Ia tidak pandai berburu, seperti pemuda  sekampung lainnya. Oleh karenanya, ia sering dipanggil perempuan, dan sering diejek oleh teman-teman lelakinya sebagai perempuan.

Koyei/Kohei

Dogiyai, Wilayah Penutur Cerita Koyei/Kohei.
Foto: Goomabipai
Di daerah pedalaman Nabire, tepatnya daerah Makewapa, hiduplah satu keluarga yang miskin. Keluarga itu termiskin di daerah itu. Mereka tidak memunyai makanan dan harta benda. Keluarga itu bernama Kibiuwo. Keluarga Kibiuwo terdiri atas lima orang, yaitu Ibu Kibiuwo, anak pertama Neneidaba, anak kedua Noku, dan anak ketiga Yegaku. Anak yang pertama dan kedua laki-laki dan yang ketiga adalah anak perempuan. Nama ayahnya tidak pernah disebut-sebut sampai sekarag (masih dirahasiakan).

Mereka tidak ada nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), digiyonapa/ugubo (sayur hitam), mege dan dedege (mata uang adat suku Mee), ekina (ternak babi), dan tidak ada harta benda lainnya. Pada saat itu, makanan yang ada hanyalah nota/nuta (ubi jalar) jenis kadaka dan digiyonapo/ugubo (sayur hitam). Pada saat itu, musim kelaparan dan krisis ekonomi berkepanjangan. Tanaman nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), dade/boho (sayur gedi), eto (tebu) dan lainnya terbatas.

Penyelesaian Masalah Papua Barat (Suatu Perspektif Internasional)

Oleh: Victor F. Yeimo1

Konflik politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan. dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan Indonesia
A. Penyelesaian Kasus Secara Internasional (Sebuah Pendekatan dalam Kasus Papua Barat)
Masalah utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.
Karena proses itu merupakan hasil kongkalingkong (persekongkolan) pihak-pihak internasional, maka masalah konflik politik tentang status politik wilayah Papua Barat harus diselesaikan di tingkat internasional. Lantas,bagaimana menyelesaiannya? Ada 2 cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa atau kekerasan. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasa-jasa baik (good office), mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan (inquiry), dan penyelesaian dibawah naungan PBB2. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional). Untuk penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan, bisa berupa perang atau tindakan bersenjata non perang, retorsi (retortion), tindakan-tindakan pembalasann (repraisal), blockade secara damai (pacific blockade) dan intervensi.


Setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan secara damai3. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ PBB yaitu Mahkama Internasional.


1.Secara Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak ketiga. Hal ini sesuai kesepakatan wilayah yang bertikai. Dalam sejarah kasus Papua Barat, cara arbitrase ini dilakukan secara sepihak oleh Belanda dan Indonesia yang menunjuk Amerika Serikat yang pada saat itu sedang memiliki nafsu kepentingan ekonomi (Freeport) untuk menjadi arbitrator (pihak ketiga). Perjanjian itu adalah New York Agreement. Perjanjian ini sepihak karena tidak melibatkan orang Papua Barat dan perjanjian itu tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan. Untuk menyelesaian persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan Papua Barat harus sepakat untuk menyerahkan penyelesaian status politik Papua Barat kepada pihak ketiga yang ditentukan bersama.


2.Melalui Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ)4. Karena ICJ adalah organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus melalui lembaga-lembaga Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan organisasi non pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang kapasitasnya diakui oleh PBB. Secara umum juridiksi yang dimiliki ICJ dapat dibagi menjadi 2:

a.Juridiksi atas kasus yang berdasarkan atas telah terjadinya sengketa, yaitu juridiksi mahkama untuk mengadili suatu sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa yang berhubungan dengan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum Internasional terhadap para pihak. 

b.Juridiksi untuk memberikan advisory opinion, yaitu juridiksi ICJ dalam memberikan pendapat hukumnya atas persoalan hukum berdasarkan organ-organ yang memiliki kewenangan untuk itu. Dalam kasus Papua Barat, proses penyelesaian sengketa politik wilayah Papua Barat pada masa lalu hingga pada PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional5. Maka, Negara-negara anggotan PBB bisa mendesak Majelis Umum PBB di setiap pertemuannya agar meminta ICJ memberikan pendapat hukumnya atas status hukum Papua Barat. 


B.Masalah Papua Barat Harus Diselesaian Melalui Proses Hukum di Mahkama Internasional


1.Alasan Pembenaran


Untuk menyelesaikan melalui proses hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu hal-hal apa saja yang membenarkan bahwa masalah Papua Barat harus diselesaikan di Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ).


a.Papua Barat Pernah dan Masih Menjadi Sengketa Internasional

Papua Barat dalam proses sejarahnya pernah menjadi wilayah yang dipersengketakan dan dalam prosesnya banyak kejanggalan seperti: 

1)Dalam pelaksanaanya Indonesia tidak mematuhi hak dan kewajiban untuk melaksanakan berbagai perjanjian salah satunya perjanjian New York Agreement itu; 

2)Terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional seperti Roma Agreement dan New York Agreement tahun 1962; 

3)Wilayah Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Contoh nyata adalah kongkalingkong Indonesian dan Amerika Serikat dalam perjanjian kontrak karya Freeport Mc MoRaNd tahun 1967; 

4)Papua Barat telah menjadi wilayah perebutan pengaruh ekonomi, politik atau keamanan regional dan internasional; 

5)Papua Barat yang telah berdaulat tahun 1961 telah diintervensi kedaulatannya dengan maksud menguasai dan menjajah oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Trikora; 

6)Poin 5 merupakan bukti penghinaan terhadap harga diri bangsa. 


Hal inilah yang masih menjadi perselisihan orang Papua dan harus menjadi perselisihan internasional. Dan itu merupakan sebab-sebab mengapa suatu wilayah disebut sebagai wilayah yang dipersengketakan.


b.Kasus Papua Barat Termasuk dalam Kategori Hukum Internasional


Hal-hal yang menyebabkan kasus Papua Barat sesuai dengan pandangan Sistem Hukum dan Peradilan Internasional adalah:


1)Kasus Papua Barat dalam Asas hukum Internasional


Menurut resolusi majelis umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas. Poin-poin yang mendukung penyelesaian konflik Papua Barat adalah 

a)Setiap Negara harus menyelesaian masalah Internasional dengan cara damai. Masalah Papua Barat adalah masalah internasional dan setiap pihak yang sedang mempermasalahkan Papua Barat harus diselesaian secara damai; 

b)Asas persamaan hak dan penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat. Rakyat Papua Barat punya hak dalam penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara sesuai dengan kemerdekaan 1 Desember 1961.


2)Kasus Papua Barat sebagai Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum internasional adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, yang menjadi subjek hukum Internasional adalah Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan Pemberontak dan pihak yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sebagai gerakan pembebasan dalam menuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization). 


c.Kasus Papua Barat Sesuai Dengan Sumber-Sumber Hukum Internasional


Sumber hukum internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh mahkama internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua: 

1)Sumber hukum dalam arti Material dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum Internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran positivism berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada persetujuan-persetujuan bersama dari Negara-negara ditamba dengan asas pacta sunt servanda; 

2)Sumber hukum dalam arti Formal adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh Mahkama Internasional, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang menyebutkan sumber-sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian Internasional (traktak), Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum, asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, keputusan-kepuptusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.


2.Mahkama Internasional (ICJ) Dalam Menyelesaian Masalah Papua Barat


Mahkama Internasional atau International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Mereka direkrut dari warga Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. 

Mahkama Internasional berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanga-pertimbangan hukum Internasional yang menjadi dasar pertimbangannya. Ada dua fungsi Mahkama dalam menyelesaian suatu kasus, yaitu memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan opini-opini yang bersifat nasehat. Dalam menyelesaian kasus Papua Barat yaitu:

a)Bila Orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang sedang bertikai maka Mahkama Internasional dapat memutuskan pertikaian itu sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai, dan terlebih atas desakan Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional. 

b)Negara-negara Anggota PBB mendesak Badan-badan PBB seperti Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB agar meminta Mahkama Internasional memberikan opini-opini yang bersifat nasehat (advisory opinion) tentang status hukum Papua Barat. Hal ini karena ada fakta-fakta baru dalam proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan standar-standar hukum internasional.


3. Mekanisme Penyelesaian di Mahkama Internasional

Bila Persolan Papua Barat Harus diselesaikan untuk mengambil keputusan final dari Mahkama Internasional, maka bagaimana cara kerja lembaga ini?
 
Dua pihak yang berperkara, yaitu Indonesia dan Papua Barat masing-masing menunjuk lebih dahulu seorang hakim untuk mewakilinya sehingga ditambah 15 hakim tetap Mahkama Internasional keseluruhannya menjadi 17 hakim.

Dua belah pihak harus memaparkan apa yang menjadi inti permasalahan dalam kasus status hukum Papua Barat.

Dalam memaparkan inti kasus dari masing-masing pihak, pertama-tama persidangan mengadakan tiga putaran permohonan tertulis dari kedua pihak. Hal ini karena masing-masing akan mempresentasikan hasil kajian sejarah dan argumentasi hukum.

Setelah persidangan mencatat semua, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya yaitu mendengarkan argumentasi lisan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini bisa mencapai waktu berhari-hari.

Setelah para penasehat hukum pulang, para hakim mengadakan musyawarah. Tahap musyawarah ini bisa mencapai waktu 3-4 bulan. 

Dalam musyawarah, para hakim menyusun tanggapan pertama mereka serta mendiskusikannya. Lalu persidangan membuat Komisi Rancangan (Drafting Committee).

Komisi ini menyusun secara berurutan setiap naskah pendapat para hakim dan menjadi bahan diskusi ataupun amandemen (perubahan) dalam rapat pleno para hakim.

Dan akhirnya muncul sebuah pendapat yang mendapat dukungan mayoritas hakim di persidangan.

Sementara jika ada hakim yang tidak sepakat dengan pendapat itu, bisa membuat disseting opinion.

Kemudian pendapat akhir Mahkama Internasional dibacakan dalam persidangan terbuka, di depan para penasehat hukum pihak yang bertikai (pihak yang memperkarakan).


4. Pentingnya Pengacara Internasional bagi Papua Barat (ILWP sebagai Solusi)


Pengacara internasional atau Penasehat Hukum Internasional adalah para pakar hukum internasional yang melakukan pembelaan hukum terhadap kasus-kasus yang bertentangan dengan atau melanggar hukum Internasional. Pengacara Internasional biasanya diakui secara internasional karena kontribusinya dalam membawa kasus-kasus internasional ke lembaga Internasional sesuai dengan piagam-piagam PBB, standar-standar serta prinsip-prinsip hukum internasional.


Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional, maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum internasional. Dengan demikian, pengacara internasional bagi bangsa Papua Barat adalah suatu keharusan. Tugas-tugas pengacara internasional adalah melakukan penyelidikan atas masalah Papua Barat dan mengkajinya sesuai hukum internasional. Pengacara internasional atas kajian itu terus mendesak pentingnya penyelesaian masalah Papua Barat melalui pengadilan internasional dengan cara memaksa semua pihak-pihak internasional dan lembaga internasional untuk menyelesaikan persoalan Papua Barat melalui jalur hukum sesuai mekanisme internasional. Tidak sampai disitu, pengacara internasional kemudian hari ditunjuk oleh pihak Papua Barat untuk membela kasus Papua Barat selama proses peradilan internasional berlangsung, yaitu mempresentasikan kajian hukum tentang status Papua Barat didepan Hakim Mahkama Internasional.


Sebaliknya, Indonesia melalui pengacara Internasionalnya juga akan mempresentasikan materi untuk membenarkan bahwa status hukum Papua Barat dalam NKRI itu sah menurut kajian hukum internasional. Indonesia kini memperkuat status hukum Papua Barat melalui resolusi Majelis Umum PBB no 2504 tahun 1971. Di Mahkama Internasional nanti, pihak Indonesia harus bisa menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat.


Saat ini telah dibentuk Internasional Lawyers for West Papua [ILWP] yang diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie dan terus menghimpun anggota-anggota pengacara internasional lain di berbagai belahan dunia. 


5. Materi Papua Barat di Mahkama Internasional 


Bila proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tanggal 1 Desember 1961 hingga 1969 itu dianggap sah, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Mahkama Internasional sesuai pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama Internasional dengan menghadirkan Belanda, Amerika Serika dan Indonesia adalah:

1)Menanyakan Belanda dan PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dilakukan secara defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu juga merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua Barat, Dewan Nieuw Guinea Raad. Bukankah ini adalah proses dekolonisasi, atau bagian dari semangat pembentukan komisi dekolonisasi PBB?.

2)Bila kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi militer Indonesia di Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip hukum dan HAM PBB.

3)Jika itu sesuai dengan semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB No 1514 dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan mengapa PBB mengabaikan resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA menyerahkan wilayah administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan wilayah jajahan sesuai mandat dekolonisasi PBB.

4)Bila proses mengalihkan kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke tangan Indonesia itu sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM dan Hukum PBB, maka mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.

5)Bila keputusan New York Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun 1967 Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc Morand yang berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan melalui referendum (PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.

6)Bila keputusan New York Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk rakyat Papua Barat, mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai dengan Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Selain itu, teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. 


Itulah serangkaian proses yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai dengan standar-standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional. Proses inilah yang harus digugat kembali. Lembaga-lembaga Internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Negara-negara angggota PBB dapat meminta advisory opinion atau penjelasan berupa nasihat tentang prose itu dari Mahkama Internasional.


6. Kemungkinan Resolusi PBB


a)Pengakuan Kemerdekaan Papua Barat: 

Pengakuan bagi kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama Internasional bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda telah sesuai dan berkewajiban memerdekakan Papua Barat, maka pengakuan secara de jure bisa saja diberikan.


b)Referendum

Majelis Umum dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat karena Pepera 1969 yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak kuat hukum (weak law) karena Indonesia dan PBB (UNTEA) tidak dilakukan sesuai dengan Perjanjian New York Agreement atau kesemua proses itu melanggar standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional.


C.Fokus Perjuangan di Internasional dan Ke Internasional


Konflik politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan. dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan Indonesia. Untuk itulah, maka tugas utama perjuangan di internasional saat ini adalah menggalang solidaritas internasional, mendesak Negara-negara anggota PBB agar membuat mosi (sikap) di Majelis Umum PBB, selanjutnya Majelis Umum PBB merekomendasikan Pengadilan Internasional (International Court of Justice) menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat atau bila tidak maka masalah Papua Barat harus diselesaian kembali melalui mekanisme internasional.


Untuk menggugat proses yang cacat itu, maka dibutuhkan tahapan strategis yang secara konsen diperjuangan di tingkat Internasional. Tahapan itu harus didorong melaui proses politik maupun hukum di tingkat internasional. Paling tidak ada jalur-jalur strategis yang sedang ditempuh seperti:


1.IPWP dan ILWP


a)IPWP (Internasional Parliamentarians for West Papua) atau Parkumpulan Parlemen-Parlemen untuk Papua Barat. IPWP diluncurkan di London 15 Oktober 2008, yang kemudian dideklarasikan pada 1 Desember 2008 di gedung Parlemen Kerajaan Inggris di London, yang diketuai oleh Andrew Smith, saat ini IPWP telah terbentuk di Vanuatu, PNG, Uni Eropa, Republik Ceko, schotland dan anggota Parlement negara-negara lain yang secara pribadi ikut menandatangani untuk menjadi anggota IPWP. Anggota IPWP kini mencapai 68 orang6. 


b)Internasional Lawyers for West Papua (ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua Barat. ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional. Anggota ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang selanjutnya mendorong ke Majelis Umum PBB dan Internasional Court of Justice (Pengadilan Internasional) sebagai tempat penyelesaian seluruh proses sejarah yang cacat itu.


2.MSG dan PIF melalui kawasan Pasific


Selain dua lembaga internasional bagi bangsa Papua Barat itu, tahapan poloitik yang sudah dan terus dilakukan yaitu melalui loby politik di kawasan pasifik, seperti:


a). MSG (Melanesian Spearhead Groups) adalah sebuah group antar Negara-negara Melanesia. Pertemuan MSG biasanya dilakukan setahun sekali. Dalam pertemuan itu Negara-negara Melanesia membicarakan isu-isu penting serta kesepakatan kerja antar Negara-negara Melanesia ini. Sampai sekarang Papua Barat belum masuk kedalam anggota MSG karena terus diblokade oleh PNG melalui Michael Somare, sekalipun sudah dilakukan berbagai upaya agar masalah Papua Barat dibicarakan atau paling tidak ada delegasi Papua Barat untuk ikut MSG. Negara Vanuatu yang mendukung hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa Papua Barat terus berupaya namun kandas terus menerus. Saat ini upaya terus dilakukan oleh para diplomat Papua Barat di Fiji, PNG, Vanuatu agar Papua Barat bisa menjadi anggota MSG.


b). PIF (Pasific Islands Forum) atau Forum Pulau-pulau (negara-negara) pasifik adalah sebuah forum Negara-negara di wilayah pasifik yang pertemuannya dilakukan setahun sekali. Forum ini mengagendakan dan membicarakan masalah-masalah atau isu-isu regional (kawasan ) pacific. Sejak Belanda masih berada di Papua Barat, delegasi bangsa Papua Barat selalu diikutkan dalam forum ini, namun kini Papua Barat sudah tidak sebagai anggota PIF sejak penjajah Indonesia dan kepentingan kapitalisme mengambil peran penting dalam memblokade isu-isu Papua Barat. Berbagai upaya terus didorong agar kemudian ada delegasi Papua Barat atau paling tidak isu Papua Barat diangkat didalam setiap pertemuan itu.


3.Dialog atau Perundingan oleh Mediator

Dialog atau perundingan bisa dilakukan tanpa intervensi dari luar. Dalam proses ini kedua bela pihak yang bertikai bisa mengambil kemauan bersama untuk dialog. Hasil dialog tidak mengikat dan final. Tapi juga pihak yang merasa menguntungkannya, bisa menyatakannya sebagai keputusan yang final. Dalam hasil dialog kedua pihak yang bertikai bisa menyepakati untuk menyelesaian masalah status hukum Papua Barat di Mahkama Internasional, atau bisa saja mengambil keputusan bersama untuk melakukan referendum secara damai.


Dalam pendekatan Papua Barat, Apakah dialog dengan Jakarta bisa menghasilkan kesepakatan Jakarta dan Papua Barat untuk membawa persoalan status politik Papua Barat untuk diselesaikan di Mahkama Internasional atau referendum? Pertanyaan ini yang harus dijawab.


a)Indonesia sangat mengerti gelagat politik Papua Merdeka bila terjadi dialog. Saat ini Jakarta tahu bahwa dialog yang mempersoalkan status politik pada ujungnya akan menguntungkan orang Papua Barat yang secara dominan ingin Merdeka, maka Indonesia akan hati-hati dalam menyikapi wacana dialog. Terlepas dari siapa yang harus jadi mediator.

b)Bila Indonesia harus menerima dialog, sangat dimungkinkan status politik Papua Barat tidak ikut didialogkan. Barangkali pihak Jakarta akan lebih menerima dialog bila itu membicarakan tentang perbaikan Otonomi Khusus (Review Otsus), isu HAM dan Penegakan Hukum dalam NKRI.

c)Tapi bila tuntutan Papua Merdeka dibicarakan, maka Indonesia akan punya alasan bahwa Otsus adalah jawaban dari tuntutan Papua merdeka, sehingga bisa saja Tuntutan Papua Merdeka direduksi ke perbaikan Otsus. Hal ini selalu menjadi alasan Jakarta, kalau rakyat demonstrasi tuntut Papua Merdeka atau TPN OPM buat aksi, maka mereka dengan mudah mengatakan “itu karena mereka tidak puas”, “ itu luapan kekecewaan pembanguan”, dan berbagai alasan lainya.

d)Dialog dengan isu penyelesaian status politik Papua Barat hanya bisa terjadi kalau ada desakan kuat dari rakyat Papua Barat dan pihak Internasional.

e)Dalam dialog sangat tidak mungkin dibicarakan dan disetujui mengenai penyelesaian masalah Papua Barat melalui solusi referendum. Hal itu kemungkinan bisa terjadi bila Papua Barat dalam kondisi emergency secara fisik seperti Timor Leste saat itu dan lebih utama kuatnya intervensi Internasional. Contoh kasus Sahara Barat, sekalipun disana terjadi krisis kemanusiaan yang krusial akibat pertikaian Sahara Barat yang ingin Merdeka dan Maroko yang masih ingin menjajah, namun pemerintah Maroko tidak ingin menggelar referendum karena khawatir sikap rakyat Sahara Barat yang akan memilih opsi merdeka.

f)Dalam kondisi itu, dialog atau perundingan justru akan dipakai oleh Jakarta untuk menghalau proses perjuangan di Internasional. Hal yang sama dilakukan Jakarta terhadap GAM di Aceh. Masalah GAM yang pada saat itu sedang memaksa internasional justru direduksi (dipersempit) ke persoalan Tsunami dan korban kemanusiaan yang terjadi, sehingga resolusi dialog di Helsinki tidak banyak menguntungkan bagi perjuangan politik GAM kedepan, yang terjadi adalah solusi Otsus diterima dan rekonsiliasi di Aceh dalam kerangka NKRI menjadi pil pahit yang tidak menguntungkan pihak GAM untuk penentuan nasip sendiri (Kemerdekaan secara politik). 


Dari beberapa jalur yang ditempuh diatas, maka sebenarnya tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketika orang Papua Barat dan pejuang Papua Barat tidak dapat membaca dan memetahkan solusi-solusi itu agar dapat memandang solusi itu secara rasional (masuk akal), tanpa saling menyalahkan antara satu kubu perjuangan dan kubu yang lainya. 


Yang rasional adalah perjuangan Papua Merdeka membutuhkan kekuatan internal Papua Barat dan terutama Internasional yang saling mendukung. Untuk mendorong perjuangan di tingkat Internasional dengan strategis, maka strategi Internasional lewat MSG dan PIF harus diperjuangkan terus menerus, karena bila isu-isu Papua Barat menjadi topik penting dalam pertemuan-pertemuan regional, maka bukan tidak mungkin persoalan Papua Barat menjadi isue


D.Catatan-Catatan Penting


Hal-hal yang menjadi pertimbangan suatu Negara dalam mendukung kemerdekaan bangsa Papua Barat


1.Sangat kecil kemungkinan bagi sebuah Negara secara resmi mendukung kemerdekaan bangsa Papua Barat, terlepas dari dan untuk kepentingan apapun Negara tersebut di Papua Barat. Hal ini karena setiap Negara sesuai kode etik internasional saling menghargai dan menghormati integritas dan kedaulatan Negara lain. Intervensi Negara lain secara diplomatis dilakukan melalui jalur yang legal. Jalur legal adalah bahwa suatu Negara tidak mendukung secara langsung tetapi mendukung penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya melibatkan pihak Internasional, lembaga internasional seperti PBB. Oleh karena itu, bila suatu Negara mau konsen terhadap persoalan Papua Barat maka dia harus menempu jalur yang legal, dimana Negara-negara itu sebagai anggota PBB berhak mempersoalkan konflik Papua Barat dengan mempertentangkan atau memaksa PBB mereview proses memasukan Papua Barat kedalam Indonesia yang tidak sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip Hukum dan HAM PBB di Pertemuan tahunan PBB.

2.Intervensi suatu Negara di Negara yang sedang terjadi konflik dilakukan bila suatu wilayah yang sedang bertikai itu dalam kondisi konflik dan sangat darurat, yaitu kondisi yang memaksa pihak-pihak internasional intervensi demi penegakan prinsip-prinsip, standar-standar hukum dan ham internasional. Hal inipun terjadi atas restu PBB, karena Indonesia adalah anggota PBB.

3.Saat ini Komisi Dekolonisasi PBB masih melakukan tugas sesuai resolusi 1514 untuk memerdekakan wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan atau masih dijajah. Ada sekitar 16 wilayah yang menjadi tugas komisi ini. Komisi ini diketuai oleh Marty Natalegawa yang kini menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia. Sepertinya tidak strategis bila kasus Papua Barat dibawa lewat komisi ini.

4.Orang Papua Barat sebagai warga pribumi Papua Barat berhak untuk menentukan nasip mereka sendiri. Hal ini didukung oleh deklarasi Komisi Indigenous People di PBB, dimana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani dan meratifikainya. Komisi ini turut memperkuat dukungan Negara-negara anggota PBB. Ini juga menjadi alasan penting bagi jaringan Papua Merdeka diluar negeri untuk terus mengkompanyekan dan mendesak pihak internasional dalam hal ini PBB mengakomodir suatu mekanisme bagi hak penentuan nasip sendiri bangsa pribumi Papua Barat.

5.Proses internasionalisasi persoalan status politik Papua Barat akan semakin menuju pada target seperti yang tergambar diatas bila status politik Papua Barat terus menjadi masalah yang dipertentangkan di Papua Barat melalui aksi-aksi dengan metode apapun. Artinya, Papua Barat harus dalam kondisi yang emergency (darurat) agar menjadi perhatian internasional, serta mendorongnya ke tahapan penyelesaian. Ini adalah tugas mendesak rakyat Papua Barat yang berada di Wilayah ini. Tapi bila sebaliknya, orang Papua Barat lebih banyak bicara Kesejahteraan, Otsus, Pembangunan dan topic-topik lain selain topik pertentangan status politik, maka dunia internasional justru akan memihak Jakarta agar melakukan dialog dan mendorong perbaikan di segala bidang di Papua Barat. Lalu Jakarta akan bilang, persoalan Papua Barat adalah persoalan dalam negeri dan harus diselesaikan didalam negeri, maka target politik perjuangan Papua di tingkat internasional akan meleset.

6.Indonesia dan Amerika Serikat yang masing-masing sedang menindas dan mengeksploitasi wilayah Papua Barat akan terus mengaburkan (menghilangkan) isu perjuangan bangsa Papua yang sedang dilakukan atas kebenaran sejarah ini dengan cara menstigmanisasi pejuang dan jalur perjuangan yang sedang ditempuh sebagai teroris, separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dll. Hal ini dilakukan oleh mereka untuk terus menutupi kesalahan mereka sebagai akar persoalan Papua Barat dan agar kepentingan ekonomi politik kedua Negara terus berlangsung di Papua Barat


kawasan yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB yang ada di kawasan pasifik. 


Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di Eropa melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi Negara-negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto melalui kompanye, loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi masyarakat internasional yang ada di setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas Internasional yang mau tidak dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk mengambil kebijakan, terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap Papua Barat.


Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.


kawasan yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB yang ada di kawasan pasifik. 


Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di Eropa melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi Negara-negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto melalui kompanye, loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi masyarakat internasional yang ada di setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas Internasional yang mau tidak dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk mengambil kebijakan, terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap Papua Barat.

Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.

===============================
Sumber:http://www.umaginews.com

Aku Tidak Salah

Ini Arlince Tabuni, yang ditembak militer Indonesia.
Sumber foto: freewestpapua.org.
oleh: Mikael Kudiai
Sementara burung Kuning bersiul
Jerit tangis anak negeri terdengar
Mengapa harus aku?
Apa salahku?

Aku anak negri ini,
anak pemilik surga ini
Aku hanya tahu bermain, berdoa, belajar
aku tak tahu apa-apa
aku tak tahu yang ko mau,
mengapa harus aku yang jadi sasaran tembak,
wahai iblis pencabut nyawa berbaju loreng?

Bintang Kejora

Sang Bintang Kejora,
bendera kebangsaan West Papua.
Oleh,  Makituma Stepanus Pigai

Bintang Kejora
Dahulu,
Sebelum kau berkibar di tiang tinggi
Dibelai, dipeluk oleh angin merdeka
Engkau hanya lambang harapanku.

Kau mewakili bangsa West Papua
Kau tersimpan dalam lubuk hatiku

Tragedi Kemanusiaan Biak Berdarah

Tragedi Kemanusiaan Biak Berdarah pada  6 Juli 1998 (dini hari) benar telah jadi luka tersendiri bagi orang Papua. Bermula ketika ratusan warga sipil tak bersenjata bertahan di Tower Air, dimana di atasnya, Sang Bintang Kejora berkibar. Mereka dikepung aparat. Sekitar pukul 05.00 waktu Biak, Komandan TNI AL Biak berikan perintah untuk bubarkan massa.
 TNI blokade Tower Air dari semua sisi. Pembubaran paksa tak dapat dihindari. Bentrok pun lahirlah. TNI dan gabungan aparat  tembaki warga.  Warga sipil di kelurahan Pnas, kelurahan Aupnor dan kelurahan Saramom, Biak kota, digiring ke pelabuhan laut Biak. Dari bibir pantai, penganiayaan, dan penyiksaan tak terhindarkan.

Minggu, 21 Juli 2013

Mari Rebut Kembali Pasar.

Mama-Mama Papua
(Sumber:Google)
Peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat Papua hingga sampai saat era modern ini perlu mendapat perhatian penuh. Selama ini orang Papua asli hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Sementara mereka sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan hidup sejaterah dan makmur. Kalau kita mau jujur, amati dengan cermat mengenai kehidupan orang Papua asli di bidang ekonomi, mereka saat ini nyaris terasing di negeri mereka sendiri. Meskipun saat ini beberapa kota di Papua tidak berbeda dengan kota lain di Indonesia. Misalnya di Jayapura orang dengan mudah menemukan hotel berbintang, kawasan pertokoan yang berjejer-jejer di Kota Jayapura, kawasan Entrop, Hingga Abepura.
Kalau jalan-jalan ke Pasar, di sana di padati pedagang. Namun mama-mama orang Papua asli sendiri tidak memiliki tempat yang layak dalam melalukan aktifitas dagang. Tokoh- Swalayan, Restoran siap saji, dan warung makan bertebarang dimanan-mana. Ironisnya, lebih sulit mencari orang asli Papua yang bekerja di sejumlah sentra perekonomian di Pasar. Mereka hanya berjualan kebutuhan sehari-hari. Mama-mama hanya berjualan sayuran, ubi (ipere:Wamena) dan pekerjaan itu tidak rutin dilakukan.

INTEGRASI PAPUA: Sebuah Konspirasi Internasional

“Integrasi Papua Barat ke dalam Indonesia adalah suatu konspirasi politik antara beberapa pihak, yaitu Kapitalis yang tidak lain adalah Amerika, dunia internasional, elit politik Jakarta dan elit politik Papua Barat. Konspirasi itu dilandasi oleh kepentingan masing-masing pihak dan akhirnya mengorbankan mayoritas masyarakat Papua.” Kepentingan yang dominat adalah ekonomi.
Penegakan sejarah sangatlah penting untuk membuktikan suatu kebenaran.[1] Karena dengan menuliskan dan dengan memahami sejarah masa lalu sebuah identitas bisa ditemukan pandangannya dan setiap orang bisa belajar darinya.[2] Otis Simopiaref (2002) menyatakan: sejarah harus diteliti kembali di mana lembaran hitam harus diputihkan dan yang bengkok harus diluruskan, kalau tidak perdamaian dunia tidak akan pernah tercapai.”[3] Selanjutnya sering cendikyawan dan ilmuan Kristen Dr. George Junus Aditjondro (2000:3) mengatakan, “ sejarah satu komunitas adalah jati diri dan sekaligus imajinasi mengenai hari depan dari komunitas itu sendiri.”[4]
Paradigma Elit Jakarta dalam Integrasi Papua

Sejarah Kelabu Papua Dalam Indonesia*

Historiografi Indonesia masi menghadirkan historiografi parsial mengisahkan mengenai muatan politis-ideologis.[1] Di dalam penulisan sejarah seperti itu tampak dimana peritiwa sejarah bukan pergerakan nasional diabaikan dalam pembelajaran di sekolah. Hal itu tampak sebagai bukti penjajahan, karena dengan begitu, individu, kelompok masyarakat tertentu dianggap tidak memiliki sejarah atau dianggap tidak berhak memiliki sejarah[2][3] Sedangkan Kata Indonesia yang diperkenalkanG.W. Eart, J.R Logman dan Adolf Batian (Jerman) jauh sebelum
dalam historiografi Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi, sejarah masyarakat atau wilayah di Indonesia dianggap baru dimulai bersamaan dengan perlawanan mereka terhadap ekspansi militer, politik atau ekonomi bangsan Barat. Orang Dayak dan orang Papua misalnya dianggap tidak memiliki sejarah sebelum mereka berintegrasi dengan orang luar.

Pendidikan di Papua Masih Memprihatinkan

Anak-anak Pedalaman Papua Haus Guru
(Foto:Ilst/google)
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.`dengan adanya pendidikan yang bermutuh, maka tingkat kecerdasan akan semakin tinggi, disamping itu harus didukung dengan suatu motivasi dari pihak yang bersangkutan entah dari Orang tua, teman maupun keluarga yang terdekat (Om,tante dll)
Pendidikan menjadi tempat pembelajaran yang penting bagi kaum pendidik. Jadi siapa saja yang memunyai keingan untuk menimbah pengetahuan serta pengalamam yang banyak di sekolah maupun di laur dari sekolah, diwenengkan dan dipersilakan untuk mengambil dan menerima semua yang berada di sekolah. Artinya bukan kita mencuri semua fasilitas perlengkapan sekolah dengan sewenang-wenang kita. Melainkan kita mengambil semua pengetahuan dari sekolah yang diberikan dari pihak sekolah yakni proses pembelajara yang mereka berikan.

“PEPERA 1969” INDONESIA MENCURI HAK NASIB ORANG PAPUA

Sumber: Internet
PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT (PEPERA) DILAKUKAN VERSI INDONESIA
Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua dilakukan Versi Indonesia, seharusnya mekanisme peraktek Internasional yaitu satu orang satu suara “one man one voice” Sering sebut dengan Penentuan Pedapat (PEPERA). Pepera dimulai sejak 14 Juli sampai dengan 4 Agustus 1969. Saat itu penduduk orang asli papua mencapai 8000 jiwa Penduduk. Namun yang ikut serta dalam Pepera hanya 1025 orang. Kemudian yang memberikan pendapat hanya 175 orang saja, lainya belum memberikan pendapat, karena penuh dengan melakukan berbagai teror, Intimidasi, penangkapan, kekerasaan, pembunuhan dan berbagai manipulasi social politik terhadap masyarakat Papua saat itu, yang mana masyarakat Papua mempertahankan Kemerdekaan atau tidak mau gabung dengan Indonesia.

Pada 15 agustus 1962, Konsep Pepera lahir  sering kenal denga Perjanjian New York (New York Aggrement) antara Negara Indonesia dengan Negara Belanda Atas Tanah Papua Barat.  Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal  yang Mengatur 13 macam hal. Isi perjanjian seperti ini:
a.       Transfer admintrasi (Pengalihan admintrasi) dari pemerintah Belnda kepada PBB yang diatur dalam pasal 2 s/d 11
b.      Transfer admintrasi dari PBB kepada Indonesia yang diatur dalam Pasal 12dan 13 (2 pasal)
c.       Penentuan Nasib Sendiri (self-Determination)yang diatur dalam Pasal 14 s/d 21 (8 pasal)
1.   Pelaksanaan Penentuan Nasib sendiri harus di bawah nasihat, bantuan dan partisipasi PBB
2.   Prosedur Penentuan Nasib sendiri harus dimusyawaraakn wakil-wakil rakyat
3.   Persyaratan untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri harus berdasarkan peraktek-peraktek Internasional
4.   PBB dan Indonesia akan menyampaikan laporan pelaksanaan Penentuan Nasib sendiri kepada majelis umum PBB
5.   Indonesia dan Belanda akan mengakui dan terikat pada hasil penentuan nasib Sendiri
d.            Hak-hak penduduk diatur dalam pasal 22 s/d23 (2 pasal) (Agus Alua: Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan. Hal:49-50)

Pepera dilakukan berdasarkan Pasal XVIII Perjanjian New York, dinyatakan secara jelas bahwa Pemerintah Indonesia akan melaksanakan pepera dengan bantuan dan partisipasi dari utusan PBB dan Stafnya untuk memberikan kepada rakyat yang ada di Papua kesempatan menjalankan penentuan pendapat secara bebas. Kemudian melakukan konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten yang ada di Papua untuk membicarakan metode pelaksanaan pepera ini. Selanjutnya, seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang akan dijalankan sesuai dengan aturan Internasional.

Dimana mereka yang punya hak pilih itu adalah mereka yang tinggal di Papua saat Perjanjian New York ditandatangani dan mereka yang berada di Papua ketika PEPERA dilaksanakan, termasuk mereka penduduk Papua yang meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali ke Papua dan menguruskan kembali kependudukannya setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.

Namun ternyata Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1025 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.

Yang mana, para anggota DMP itu ditunjuk langsung oleh Indonesia (Tidak melalui Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten) dan dibawah intimidasi serta ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.

Sedihnya lagi, para anggota DMP itu ditampung di suatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka (anggota DMP red) tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi oleh keluarga mereka. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasehat supaya harus memilih bergabung dengan Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.

Sebelum menjelang PEPERA yang dimulai di Merauke pada tanggal 14 Juli 1969 dan di akhiri di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969, datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Hollandia/Kota Baru / Sekarang Jayapura ) dan kemudian didampingi oleh beberapa anggota DPRGR Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan. Agar bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkanlah konsep-konsepnya dan Anggota DMP tinggal baca saja dan bagi mereka yang tidak bisa baca/tulis disuruh menghafal untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP kemudian ditampung di suatu penampungan khusus dan dijaga ketat oleh Militer serta selalu diteror-teror oleh Pimpinan OPSUS (Mr. Ali Murtopo Pimpinan Badan Inteligen Kostrad). Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia". Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten dipilih anggota DMP oleh Indonesia serta sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah Jakarta.

NAMA-NAMA PESERTA/PEMIIH DAAM PEPERA 1969
Tapi menurut buku Salikin Soemowardojo dalam buku Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat, terbitan Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat 1969, Pepera dilakukan bertahap. Mula-mula di Merauke, 14 Juli 1969, dengan 175 orang, lalu Jayawijaya, 16 Juli, dengan 175 orang, lalu Paniai (175 orang) pada 19 Juli, Fak-fak (75 orang) pada 23 Juli, Sorong (109 orang) pada 26 Juli, Manokwari (75 orang) pada 29 Juli, Teluk Cenderawasih (131 orang) pada 31 Juli serta Jayapura (110 orang) pada 2 Agustus 1969.

Bila angka-angka tersebut dijumlahkan, saya dapat angka 1,025 orang. Salikin juga menulis bahwa 1,025 orang tersebut, tidak semua wakil rakyat Papua hadir saat Pepera. Di Merauke, Paniai, Teluk Cenderawasih dan Jayapura, masing-masing ada satu orang tidak hadir. Artinya, dari 1,025 masih dikurangi empat, menjadi 1,021 orang. Uniknya, walau empat orang tidak hadir, suara mereka tetap dihitung hadir.
Lebih aneh lagi. Dalam daftar milik Thamrin, ada “Kabupaten Yapen Waropen” ikut dalam Pepera plus delapan kota lain, sama dengan Salikin. Total Thamrin sebut ada sembilan kota dimana Pepera dibikin. Salikin hanya sebut delapan tempat. Saya duga dua angka tersebut dibuat berdasar pembagian wilayah saat masing-masing daftar dibikin. Thamrin mengacu pada pembagian administrasi wilayah pada 1991 dimana sudah ada Yapen Waropen. Dan Salikin pada data 1972 dimana Yapen Waropen masuk wilayah Teluk Cenderawasih.

Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.

Oleh : Peduli keadilan dan Kebenaran/Amoye OA
===================================

Sumber:http://www.umaginews.com/

KOTAK KOMENTAR

Nama

Email *

Pesan *