Dogiyai, Wilayah Penutur Cerita Koyei/Kohei. Foto: Goomabipai |
Mereka tidak ada nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), digiyonapa/ugubo (sayur hitam), mege dan dedege (mata uang adat suku Mee), ekina (ternak babi), dan tidak ada harta benda lainnya. Pada saat itu, makanan yang ada hanyalah nota/nuta (ubi jalar) jenis kadaka dan digiyonapo/ugubo (sayur hitam). Pada saat itu, musim kelaparan dan krisis ekonomi berkepanjangan. Tanaman nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), dade/boho (sayur gedi), eto (tebu) dan lainnya terbatas.
Kelurga Kibiuwo duduk dalam rumah dan berbincang-bincang bagaimana mengatasi kelaparan yang menimpa keluarganya. Tiba-tiba saja ibu Kibiuwo serasa ingin buang air kecil. Dengan sendirinya, Ibu Kibiuwo serta merta berlari ke belakang rumah dan secara tiba-tiba melepaskan air kemihnya. Dilihatnya, air kemih itu berwarna merah. Ternyata ia melepaskan air kemih dalam bentuk darah, tepat di atas rerumputan yang rendah.
Dengan perasaan takut dan heran Ibu Kibiuwo memasuki
rumah tanpa bersuara dan komentar. Ia terus bertanya-tanya dan merenungkan dalam hatinya, mengapa air
kemihnya berdarah? Ia benar-benar heran karena selama hidupnya
belum pernah terjadi hal serupa. Baru pertama kali terjadi seperti itu.
Mereka melanjutkan perbincangannya untuk terus mencari jalan keluar
untuk mengatasi kelaparan yang sedang dan akan menimpa kelurga mereka. Ibu
Kibiuwo tidak menceritakan kejadian yang menimpa dirinya ketika buang air kecil
di luar sana. Tiba-tiba perbincangan mereka terputus oleh suara tangisan
bayi.
Suara tangisan itu semakin besar, seakan meminta
pertolongan orang. Mendengar tangisan bayi itu, serta merta berdiri dan
keluarlah mereka dari dalam rumah dan memperhatikan dari arah mana bayi itu
menangis. Mereka berdiri di halaman rumah dan memperhatikan sekelilingnya.
Suara tangisan semakin dekat, namun mereka tidak menemukan ibu yang
mengendongnya atau ibu yang sedang melahirkan di dekat rumah mereka. Mereka
terus melakukan pemantauan di sekeliling rumah untuk mencari perempuan yang
sedang duduk menyusui atau berdiri mengendong dan membujuknya. Tidak ada ibu
yang melewati sekitar rumah mereka. Mereka terus melakuan pencarin. Tangisan
terus bertubi-tubi.
Dengan penasaran mereka semakin ke belakang, tangisan
anak semakin keras dan semakin dekat. Tangisan bayi mulai ke arah di mana
Kibiuwo membuang air kemih berdarah. Akhhirnya, mereka menemukan seorang bayi
lemah tergeletak persis di tempat Kibiuwo membuang air kemih. Dilihatnya, air
kemih yang berdarah itu sudah tidak ada lagi.
Melihat bayi yang tidak berdaya itu, keluarga Kibiuwo
merasa sayang. Ibu Kibouwo mengambil bayi itu dan membawa masuk ke dalam rumah,
karena ia teringat peristiwa yang terjadi padanya. Ia merawat anak itu dengan
senang hati, walaupun dalam kelaparan yang dasyat. Bayi itu terlahir dari
lingkungan keluarga yang miskin dan kesusahan makanan. Ibu Kibiuwo bertanya-tanya apakah anak ini terlahir dari
air kemihnya atau tidak.
Untuk memastikannya, ia menyuruh anak-anaknya untuk pergi bertanya-tanya
kepada warga setempat disekeliling mereka.
Warga di sekitaranya heran mendengar cerita itu. Mereka justru bertanya
siapa gerangan yang meletakkan bayi itu di dekat rumah keluarga miskin itu.
Terutama karena di daerah itu tidak ada ibu hamil.
Warga sekitar justru berdatangan ke rumah Ibu Kibiuwo
untuk melihat bayi itu. Dengan demikian Ibu Kibiuwo benar-benar yakin bahwa
bayi itu berasal dari air kemihnya. Ia merasa bayi itu pembawa berkat bagi
keluarganya. Namun suaminya yang tidak disebutkan namanya itu merasa bayi tersebut adalah ayayoka artinya
anak bayangan atau anak roh. Alasan suaminya adalah karena anak itu tidak
memiliki ayah dan ibunya yang jelas. Lagi pula Ibu Kibiuwo merahasiakan air
kemihnya yang berdarah tersebut.
Suaminya berencana membunuh bayi itu, namun Ibu Kibiuwo
melarang keras untuk membunuh. Suaminya
masih ngotot untuk membunuh bayi lemah itu. Dia mengatakan ayayoka bisa
membawa malapetaka bagi keluarga. Melihat niat suaminya, Ibu Kibiuwo memeluk
dan terus membelai bayi itu. Melihat kasih sayang istrinya yang ditunjukkan
melalui pelukan dan belaian itu, ia mengurungkan niatnya untuk membunuh bayi
tersebut.
Suaminya menerima anak itu sebagai anak kandungnya. Ia
menamai anak itu sesuai prasangkanya, yaitu Ayayoka. Hingga umur bayi
itu enam bulan dia masih belum makan dan minum. Setiap kali Ibu Kibiuwo menyuap
makanan dan minuman ke dalam mulut bayi itu terus dimuntahkannya. Namun bayi
itu sehat dan mulus. Tidak pernah menangis untuk meminta makanan dan minuman.
Ketiga anaknya (Neneidaba, Noku dan Yegaku) menganggap bayi itu sebagai adik
mereka. Mereka sungguh sayang kepadanya.
Hari berlalu tahun berganti, anak itu tetap sehat dan
mulus. Melihat kondisi badannya yang agak kecil, mulus, sehat, dan berenergi,
ayahnya memberikan nama baru baginya, yaitu Koyeidaba/Koheidaba. Koyei
(daba)/Kohei (daba) yang berarti anak berbadan agak kecil, mulus, tetapi sehat
dan berenergi. Koyei/Kohei menjadi nama kebanggaan ayahnya termasuk keluarga
miskin itu.
Memasuki umur tujuh bulan, anak itu mulai berkarya
melalui anusnya. Ia mengeluarkan
makanan, harta serta ternak. Semua
makanan dan ternak yang dikeluarkannya masih dalam keadaan mentah dan hidup. Ia
mengeluarkan ubi mentah, talas mentah, apu (sejenis ubi jalar yang batangnya terlilit
pada pohon di sekitarnya), sayur hitam mentah, sayur lilin mentah, sayur gedi
mentah, bermacam-macam jenis tebu, bermacam-macam jenis pisang, buah-buahan termasuk buah merah mentah
dan lain-lain. Tujuan Koyei/Kohei agar semuanya dapat dikembangbiakan.
Berupa harta benda misalnya: mege (kulit kerang
yang dipakai sebagai mata uang suku Mee); dedege (sejenis kulit kerang
yang kecil berwarna putih untuk perhiasan leher), manik-manik biru tua yang
dipakai sebagai perhiasan keher) dan lain-lain.
Sementara berupa ternak seperti: ekina (babi) yang
masih hidup sebanyak dua ekor. Dua ekor babi itupun berkembang secara cepat,
karena banyak makanan. Keluarga Kibiuwo menjadi keluarga yang berkecukupan di
daerah itu. Keluara Kibiuwo tidak mengalami kelaparan lagi, kelahiran
Koyei/Kohei menjadi berkat tersendiri bagi kehidupan mereka. Setelah keluarga
Kibiuwo menjadi berkecukupan, tersebarlah berita itu di seluruh daerah. Melihat
keluarga Kibiuwo yang berkecukupan berkat kehadiran Koyei/Kohei, muncul
bermacam-macam pendapat dalam masyarakat di daerah itu.
Ada yang mengatakan, kehadiran Koyei/Kohei sebagai
penyelamat dari kirisis ekonomi; ada yang berpendapat Koyei/Kohei sebagai
peredam makanan, harta, dan ternak; ada juga yang menyangka Koyei/Kohey adalah
perampas, penghimpun dan penghilang kekayaan suku Mee, dan ada juga yang
berpendapat Koyei/Kohey hanya memperkaya keluarganya sendiri oleh sebab itu dia
harus disingkirkan.
Masyarakat daerah itu merasa bahwa keluarga paling
termiskin di daerah itu semakin menjadi kaya. Kecemburuan terus meningkat.
Masyarakat diam-diam menyepakati untuk membunuh Koyei/Kohei. Sementara Ayah dan Ibu Kibiuwo meninggal secara tiba-tiba pada waktu
yang bersamaan. Koyei/Kohei menghibur ketiga saudaranya untuk tidak menangisi
kepergian orang tua mereka. Namun mereka terus tangisi orang tua mereka. Akan
datang hari yang indah hari tidak ada orag kaya dan orang miskin. Semua orang
akan hidup damai tanpa kekurangan apapun. Semua orang akan diselamatkan.
Janganlah tangisi mereka. Mereka akan hidup. Demikian kata-kata Koyei/Kohei menghibur.
Sejak kepergian ayah dan ibunya, Koyei/Kohei mengambil
alih semua urusan keluarga. Dia juga mengajarkan mereka tentang kehidupan yang
indah tanpa bermusuhan, tentang keadilan, tentang hak atas tanah dan lain-lain
sambil berkarya meciptakan makan dan harta bagi mereka. Ketiga anak itu
berkecukupan dan setara dengan masyarat sekitarnya. Kesetaraan secara tiba-tiba
berkat kehadiran Koyei/Kohei tidak diterima oleh masyarakat setempat. Mereka
(masyarakat sekitarnya) terus membenci kehadiran Koyei/Kohei.
Kelompok masyarakat tertentu yang iri dengan karya
Koyei/Kohei mulai menyebarkan isu yang yang tidak benar. Katanya, Kita akan
menjadi miskin, tiga bersaudara akan menguasai kita. Mereka yang tadinya miskin
kini mulai menjadi kaya. Dia (Koyei/Kohei) mementingkan keluarganya saja.
Mereka menyebarkan isu itu ke seluruh masyarakat Mee.
Mengamati isu yang berkembang itu, Koyei/Kohei merasa
bahwa perlu mengambil sebuah buku yang berisi seluruh adat istiadat, kebaikan
dan kesempurnaan. Maka suatu hari dia mengutus Noneidaba dan Noku untuk pergi
mengambil Touye Kapogeiye/Touhe
kapogeihe (sebuah buku tentang kehidupan, kebaikan dan kesempurnaan)
ciptaan Koyei/Kohei. Tempat penyimpangan buku itu hanya dia yang tahu. Tidak
ada orang yang mengetahuinya. Masyarakat sekitar mengetahui bahwa Noneidaba dan
Noku sedang bepergian keluar dari daerah itu. Mereka tidak tahu untuk apa kedua
pemuda itu pergi. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat
daerah itu untuk menyerbu Koyei/Kohei. Namun, dia meloloskan diri ke arah
Gunung Odiyai. Pengejaran terus dilakukan dari gunung ke gunung, terus lari
melewati kampung yang satu ke kampung yang lain, sungai-sungai besar disebrani, bukit-bukit ditaklukan.
Pada suatu titik jumlah orang yang mengejarnya semakin
banyak, dia sudah semakin lelah. Panah yang tertusuk pada lambungnya semakin
membuat dia tidak bisa meloloskan diri. Sebelum menghembuskan nafas
terakhirnya, Koyei/Kohei berkata:
Sesungguhnya saya memberi kamu makanan dan harta kekayaan, namun kamu
tidak mengerti bahkan membunuhku. Karena itu sekarang kamu berusaha sendiri dengan
susah payah. Peliharalah dua ekor babi itu baik-baik, karena kamu akan diadili
sesuai dengan setimpal perbuatanmu.
Akhirnya Koyei/Kohei menarik
nafasnya yang terakhir.
Ketika, Noneidaba dan Noku pulang membawa Touye
Kapogeiye/ Touhe kapogeihe dari
kejauhan terdengar ratapan adik Yegaku. Mereka berdua berlari-lari masuk ke dalam rumah dan mendekati adiknya ada gerangan apa dia
meratap. Adik, itu adik telah dikejar dan dibunuh semua orang di daerah ini.
Dia sudah meninggal, katanya sambil meratap. Mereka berdua masih
bertanya-tanya kenapa adik mereka dibunuh. Sementara Touye Kapogeiye/ Touhe
kapogeihe masih belum diserahkan kepada Koyei/Kohei untuk menjelaskan apa
isi buku itu.
Yegaku
masih meratap. Ketika, dia ingin menjelaskan lebih lanjut tentang proses
penyerangan dan pembunuhan, rumah mereka justru dikepung. Masyarakat sekitar
sudah siap dengan panah untuk menyerang mereka dua. Melihat kepungan itu,
Noneidaba melarikan diri ke arah barat lalu sempat meloloskan diri ke dalam
sebuah gua batu dan menghilang di situ.
Pada saat yang sama, Noku melarikan diri ke arah timur.
Namun sial, dia tertembak panah dan tidak bisa melarikan diri. Noku masih belum
mati tetapi dia menyerahkan diri untuk dibunuh sambil memegang erat-erat Touye
Kapogeiye/Touhe kapogeihe di depannya. Dia membelakangi masyarakat (saat
itu Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe
ada di depan dia) dan memasrakan dirinya untuk ditembak di punggungnya.
Pada saat panah tertancap dipunggungnya, Noku sempat berteriak dan mengatalan, To
kabu togo kabu kiyayaikaine (saya tinggalkan segala kegelapan dan
keburukan padamu). Lalu Noku berteriak histeris masuk ke dalam sebuah goa
dengan membawa Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe lalu tembus ke daerah
lain (dunia Barat).
Semua orang yang mengejar dan membunuh Koyei/Kohei dan
Noku kembali ke kediaman Koyei/Kohei dan Noku. Di situ mereka memotong babi
satu ekor dari dua ekor babi yang keluar dari anusnya Koyei/Kohei. Sementara,
satu ekor babi berubah menjadi sebuah gunung dan kini dikenal dengan, Gunung
Duwanita.
Selanjutnya, mereka memotong kepala Koyei/Kohei dan kulit
perut babi, lalu menutupkan lubang gua
bagian timur. Kemudian kepala babi dan perut Koyei menutupkan bagian barat. Sementara dagingnya mereka
pesta bersama. Sesudah semuanya berakhir, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan teriakan kegembiraan (yuwaita). Segala kerahasiaan Koyei/Kohei tersirat dan tersurat dalam buku Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe. Saat ini sedang dicari oleh sekelompok suku Mee yang menamakan dirinya Utoumana (kelompok pencipta alat-alat budaya).
(MS, Penyesuaian dari, Yobee, Andreas, (2006: 42-49)
Tag : Cerita Rakyat, Papua, Dogiyai, Idakebo
=====================================
Sumber:http://majalahselangkah.com
0 komentar:
Posting Komentar