Tragedi Kemanusiaan Biak Berdarah pada 6 Juli
1998 (dini hari) benar telah jadi luka tersendiri bagi orang Papua. Bermula
ketika ratusan warga sipil tak bersenjata bertahan di Tower Air, dimana di
atasnya, Sang Bintang Kejora berkibar. Mereka dikepung aparat. Sekitar pukul
05.00 waktu Biak, Komandan TNI AL Biak berikan perintah untuk bubarkan massa.
TNI blokade Tower Air dari semua sisi.
Pembubaran paksa tak dapat dihindari. Bentrok pun lahirlah. TNI dan gabungan
aparat tembaki warga. Warga sipil di kelurahan Pnas, kelurahan
Aupnor dan kelurahan Saramom, Biak kota, digiring ke pelabuhan laut Biak. Dari
bibir pantai, penganiayaan, dan penyiksaan tak terhindarkan.
Para korban diangkut dengan truk-truk
Brimob, juga sebuah mobil container ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) dan Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Biak. Sekitar 6 korban meninggal
yang diangkut ke RSAL Biak. Jenasah mereka yang meninggal, hingga saat ini,
belum sampai kepada keluarga. Entah diapakan mayat - mayat itu oleh rumah sakit
TNI AL Biak dan TNI.
Rumah warga juga ditembaki TNI.
TNI juga gebrek dan razia rumah warga sipil. TNI jadikan Biak kota mati. Warga
sipil takut keluar. Takut bertanya, "Dimana anak saya?" atau, "Dimana suami
saya?" atau "Dimana isteri saya?" Biak jadi kota darurat. Dimana-mana
militer. TNI melakukan razia bukan hanya di sekitar Tower Air. Bukan. Razia
mereka perluas hingga jauh dari lokasi kejadian.
Berdasar laporan Elsham, kita tahu, 230
jiwa jadi korban keganasan Tentara Nasional Indonesia. 8 orang meninggal
dunia; 3 orang hilang; korban luka berat yang dievakuasi ke Makassar 4 orang
dan hilang; 33 orang ditahan sewenang-wenang dan 150 orang mengalami
penyiksaan; serta 32 mayat hilang misterius.
Filep Karma, salah satu pemimpin politik Papua
Merdeka (saat ini sedang mendekam di tahanan), ditahan pada peristiwa itu.
Karma jadi yang pertama
di Papua setelah reformasi.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu,
ditemukan puluhan mayat di perairan (pesisir pantai) Biak. Tidak ada yang
melakukan penyelidikan atas mayat-mayat itu. Semua orang takut.
TNI bilang, mayat - mayat itu adalah
korban bencana Tsunami di Aitape, Papua New Guinea, yang terjadi pada tanggal
17 Juli 1998. Tetapi diketahui, diantara mayat itu, ada yang badannya
dibungkusi dengan pakaian pramuka dan kostum partai Golkar.
Bila potongan mayat pakai kostum Golkar
yang hanya ada di Indonesia, apakah pernyataan TNI di atas dapat dibenarkan?
Jelas tidak!
Pertanyaannya: siapa yang
memotong-motong, sehingga yang terdampar di pantai Biak adalah
potongan-potongan tubuh (tidak dalam tubuh utuh)? Mungkinkah potongan-potongan
tubuh itu, adalah 32 mayat yang hilang misterius? Entahlah.
Tak ada penelitian yang mendalam,
komprehensif, dan benar independen sejauh ini. Malah terkesan, TNI Polri, pemerintah
pusat melalui kaki tangannya di pemerintahan daerah, menutupi tragedi
kemanusiaan itu.
Polisi Larang
Peringati Biak Berdarah
Rakyat Biak, dalam wadah Komunitas
Korban Peristiwa Biak Berdarah telah lakukan persiapkan untuk peringati tragedi
Biak Berdarah, hari ini, 6 Juli 2013. Mereka minta izin kepolisian,
namun Kepolisian RI tidak beri izin.
Pada 5 Juli, seperti dilangsir knpbnews.com, warga anggota Komunitas Korban Biak Berdarah kumpul
di Tower Air, yang di puncaknya, 15 tahun lalu, Sang Bintang Kejora berkibar itu.
Mereka hendak membersihkan lokasi tersebut.
Mereka juga berencana mengadakan doa untuk para korban
keganasan militer Negara Indonesia (TNI), dan menyalakan lilin-lilin pada
lokasi tersebut. Untuk esok harinya, (hari ini, 6 Juli), dilanjutkan dengan
ibadah di lokasi kejadian. Mereka juga akan buat penaburan bunga sebagai
simbol duka, dan diskusi publik di rumah adat Sorido, menyikapi
peristiwa tersebut.
Namun, hingga sore hari, tanggal 5 Juli 2013, pukul
16.00 pihak kepolisian Biak belum mengeluarkan surat izin, malah
mengeluarkan surat larangan untuk peringati peristiwa Biak berdarah
tersebut. Juga, Marthinus Morin, koordinator kegiatan ditangkap untuk
diinterogasi.
Bila demikian laku TNI Polri di tanah Papua, yang bahkan
membatasi dan melarang hak keluarga korban untuk melayat, mendoakan para
korban, bagaimana orang Papua berharap pada RI, ada penyelesaian yang baik dan
pengusutan atas tragedi Biak Berdarah 6 Juli 1998?
Dari fenomena pelarangan diatas, saya melihat, TNI Polri
dan aparatnya telah, sedang, dan akan terus menutupi digali dan ditelusuri
kembalinya peristiwa kemanusiaan, Biak Berdarah itu. tahun ini, bahkan hanya
untuk mendoakan pun dilarang.
Di sisi lain, RI semakin memuktikan dirinya sebagai negara
munafik bermulut besar. Ia mengaku sebagai negara demokrasi dengan negara lain,
sementara kenyataannya, izin untuk kumpul, doa, dan menabur bunga di makam
korban keganasan negara melalui aparatnya (TNI), itu saja dilarang. Ironis memang.
Peristiwa Biak Berdarah adalah ranting dan daun. Ia berasal
muasal dari akar masalah: kemerdekaan bangsa Papua, 1 Desember 1961, yang
dianeksasi RI. Semua ini semakin membuat membuat generasi muda Papua bertanya,
ada apa sesungguhya.
Pelarangan semakin membuat rakyat Papua sadar akan kenyataan,
peristiwa, dan latar belakangnya yang melahirkan Biak Berdarah. Semua ini
membuat rakyat Papua semakin mendekati
hari itu, dimana rakyat akan memutuskan tak ingin lagi hidup dalam penderitaan, sistem represif, dan ketakutan bersama RI.
Barangkali sedikit masuk akal bila kita ingat kata-kata uskup Desmond Tutu:
"Saya kira orang berpikir, bahwa senjata adalah hal paling
berbahaya yang harus ditakuti diktator atau tiran. Nyatanya, TIDAK! Yang
paling berbahaya adalah, ketika rakyat memutuskan ingin bebas. Sekali
mereka memutuskan, berpikir tentang kebebasan, takkan ada yang bisa
menghentikan mereka."
Topilus B. Tebai adalah mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta.
============================================
Sumber:http://majalahselangkah.com
============================================
Sumber:http://majalahselangkah.com
0 komentar:
Posting Komentar