Ilustrasi berburu. Foto: cabiklunik.blogspot.com |
Kehidupannya damai
tenteram. Di kebunnya, berbagai macam bahan makanan telah ditanamnya, dan ia
tidak kekurangan satu pun tentangnya. Namun, ada yang kurang dari hidup pemuda
ini. Ia tidak pandai berburu, seperti pemuda
sekampung lainnya. Oleh karenanya, ia sering dipanggil perempuan, dan
sering diejek oleh teman-teman lelakinya sebagai perempuan.
Hal ini biasanya
membuat pemuda itu sakit hati. Suatu
hari, lelaki itu tak tahan lagi mendengar omelan dan cacian dari semua pemuda
sebayanya di kampung itu. Ia memutuskan untuk berburu. Maka, segala jenis
perlengkapan berburu seperti busur dan anak panah, bekal, dan lain sebagainya
ia siapkan.
Setelah siap
semuanya, maka pada suatu pagi yang cerah, sebelum metahari menyembul ke permukaan
mengusir malam, pemuda itu telah keluar rumahnya. Ia keluar untuk berburu. Di
tangannya, dibawahnyalah busur dan anak panah. Di pundaknya, dibawanya bekal
makanan di dalam noken. Ia takut
kepergiannya untuk berburu diketahui dan malah ditertawai oleh sesama pemuda di
kampungnya, dan oleh karena itulah ia keluar sepagi itu untuk berburu.
Hutan lebat di
depannya ia telusuri. Namun, karena ia tidak tahu cara cara dan teknik berburu
yang digunakan lazimnya, maka ia bingung akan berbuat apa dari dalam hutan.
Terpaksa ia seharian itu menyusuri hutan. Beberapa burung ia dapati. Beberapa
binatang buruan sering ia jumpai di dalam hutan. Namun, tidak ada satu pun yang
dapat ia panah.
Pemuda itu kesal.
Pemuda itu cape. Ia memutuskan untuk
berisitrahat sejenak. Sambil beristirahat, mulailah ia belajar melesakkan panah
tepat pada sasarannya. Ia membuat bulatan kecil di sebuah batang pohon besar,
dan berusaha memanahnya tepat di tengah-tengah titik itu. Namun, tak satupun
dari parusan tembakan anak panahnya ayng mengenai sasaran yang diinginkan.
Pemuda itu tidak
kecewa dengan hal ini. Malah ia bertambah senang, karena ia dapat semakin
memahami teknik menembak menggunakan busur dan anak panah. Akhirnya, hari sudah
sore. Pemuda itu memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Namun, ia malu juga,
karena seharian berburu, tidak satupun binatang buruan yang ia dapat. Ia malu
kepada teman-temannya di kampung. Apa kata mereka nanti bila melihat saya
pulang berburu dengan tangan kosong? begitu pertanyaan yang selalu terging di
benaknya.
Akhirnya, ia
memutuskan untuk mengunjungi saja kebunnya yang letaknya di bibir hutan itu.
Segera ia sampai ke kebunnya. Hari sudah semakin senja. Matahari sudah semakin
terbenam. Lelaki itu tiba di bibir kebun.
Ada sesuatu yang
dilihatnya bergerak, seperti benda hitam tampaknya. Di dalam rerumputan itu, di
pinggir pohon pisang, diantara rimbunnya
atanaman ubi yang ditanamnya, ia melihat ada sekawanan binatang.
Dengan
mengendap-endap karena ingin tahu, lelaki itu mendekatinya. Dari dekat,
dilihatnyalah seekor babi hutan dengan tujuh ekor anaknya yang masih kecil
sedang mencungkil dan memakan tanaman ubi miliknya di kebun itu. Dengan segera,
diambilnyalah panah, dan dibidiknyalah induk babi itu.
Namun sayang.
Karena ia belum terlatih untuk menembak, tembakannya jauh dari sasaran. Anak
panahnya mengenai telinga induk babi. Sementara karena kaget, babi itu
berteriak keras, dan meninggalkan tempat
itu, dengan lari sekencang-kencangnya. Sementara itu, anak-anaknya tercerai
berai. Melihat kejadian itu, maka pemuda itu segera berlari mengejar salah satu
anak babi.
Karena anak babi
itu kecil, maka dengan gampangnya dapat ditangkap pemuda itu. Dengan rasa senag yang amant
sangat, maka segera ia meninggalkan kebunnya dengan menggendong anak babi
tersebut. Sesampainya dirumah, ia menyiapkan kandang kecil di samping rumah.
Kemudian, anak babi itu dimasukkan ke dalam kandang itu.
Hari berganti,
bulan berlalu. Anak babi itu semakin besar. Anak babi peliharaannya itu seperi
manusia rasanya. Bila ke kebun, anak
babi itu akan mengikutinya dari belakang. Ketika ia pulang dari kebun, anak
babi itu pun akan mengikutinya dari belakang pula. Bila pemuda itu memanggil
nama babi, maka dengan cepat akan direspon oleh babi itu dengan teriakan
kecilnya.
Suatu pagi yang
cerah, pemuda itu pergi ke kebun. Seperti biasa, babinya itu mengikutinya dari
belakang. Setelah bekerja seharian, kali itu ia agak kelelahan. Oleh karenanya,
ia ingin pulang lebih cepat dari biasanya. Ia memanggil babinya. Ketika babinya
itu muncul, lelaki itu berjalan menuju rumah.
Pikirnya, babi itu
akan mengikutinya seperti biasa dari belakang. Namun sial bagi pemuda itu.
Sesampainya di rumah, ia mendapati babinya itu tidak bersamanya. Pemuda itu
kaget, dan menoleh ke samping kiri dan kanan ia berdiri. Segera noken berisi
ubi jalar, sayuran dan air yang dibawa ia lepaskan, dan berlari kecil kembali
ke arah kebun, mencari babinya itu. Namun, babi itu tiada didapatnya juga. Babi
itu telah hilang.
Pemuda itu sedih.
Malam itu, ia kembali ke rumah. Ia tidak makan malam itu. Keesokan paginya, ia mempersiapkan
segalanya untuk mencari babinya. Ia mencari sambil memanggil-manggil babinya,
namun tiada keliahatan. Karena putus asa, di sebuah tempat yang teduh, ia
duduk.
Sekilas, di samping
kanan jalan, dilihatnya sebuah gundukan rumput tebal. Gundukan rumput itu
bergerak gerak. Dengan sigap, lelaki itu segera dengan tidak menimbulkan suara
mendekati gundukan rumput yang masih bergrak itu, dan memasukkan tangannya
meraba benda yang bergerak itu.
Tangannya menjamah
binatang liar, semacam pihaii (kangguru). Ia segera memegang kedua telinga dan
kaki Pihaii tersebut, dan mengeluarkannya dari gundukan rumput. Pihaii itu sangat
besar, sebesar anak babinya. Sesaat, timbul di pikirannya untuk menikmati saja
daging pihaii, yang tentunya tidak kalah nikmatnya di banding daging babi.
Segera ia membawa
pulang babi itu. Sesampainya di rumah, ia melihat lagi Pihaii yang
bergerak-gerak di dalam kurungan, minta dilepaskan itu. Kemudian,
gerakan-gerakan pemberontakan Pihaii untuk melepaskan diri dari dalam kurungan
itu, berlahan membuat pemuda itu berpikir, apa jadinya bila ia yang menempati
kondisi dan keadaan Pihaii seperti di dalam kurungan.
Lagipula,
sebenarnya tujuanku ke hutan, bukan untuk mencari Pihaii ini. Dia kebetulan aku
dapat di hutan. Dia bukanlah yang aku cari, begitu ia membatin.
Ia juga sadar,
bahwa sesungguhnya tindakannya mencerai beraikan induk babi dengan anak-anaknya
itu salah. Ia telah merampas kebahagiaan keluarga babi itu dengan tindakannya
itu. Tindakannya mengambil Pihaii dan mengurungnya dalam kurungan, juga babi itu telah menodai kemerdekaan mereka sebagai
binatang yang bebas merdeka untuk hidup di alam mereka.
Maka Pemuda itu
segera membawa kurungan itu ke luar rumah, dan sore itu juga, sebelum matahari terbenam, ia telah
sampai pada gundukan rumput tempat ia memeroleh Pihaii tersebut, dan melepasnya
kembali sambil berkata:
Pihaii, bukan kamu
yang saya cari. Kembalilah ke alammu. Bila kau bertemu babiku di hutan,
sampaikan salamku padanya. Katakan padanya: semoga ia dapat hidup dan berkembangbiak
di alamnya dan bahagia. []
Tag : Cerita Rakyat, Papua, Suku Mee, Dogiyai
=================================
Sumber:http://majalahselangkah.com/
=================================
Sumber:http://majalahselangkah.com/
0 komentar:
Posting Komentar