Jumat, 09 Agustus 2013
JALAN MAMBESAK
Posted by Unknown on 06.20. PUISI - No comments
Ide ini berjalan dengan sendirinya
Gagasan ini berjalan dengan sendirinya
Nurani ini berjalan dengan sendirinya
Pemikiran ini berjalan dengan sendirinya
Tak bisa dibendung
Tak bisa ditunda
Tak mampu juga untuk mengatakan Tidak
Dia telah berjalan secara alamiah
Gagasan ini berjalan dengan sendirinya
Nurani ini berjalan dengan sendirinya
Pemikiran ini berjalan dengan sendirinya
Tak bisa dibendung
Tak bisa ditunda
Tak mampu juga untuk mengatakan Tidak
Dia telah berjalan secara alamiah
PESAN ANAK JALANAN
Posted by Unknown on 06.12. PUISI - No comments
Dari lampu merah Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Sepasang anak kecil bernyanyi setengah hati mencoba menghibur tepat jam sepuluh malam.
Bukan suara nyanyian atau melodi nada ukulele yang menjadi perhatianku.
Bukan tatapan penuh melas mengiba uang recehan yang menggetarkan hati.
Tak ada uang recehan yang layak untuk semua usaha di kota yang mati.
Mereka tak layak menerima recehan yang hanya akan menjadikan dirinya sampah.
Sepasang anak kecil bernyanyi setengah hati mencoba menghibur tepat jam sepuluh malam.
Bukan suara nyanyian atau melodi nada ukulele yang menjadi perhatianku.
Bukan tatapan penuh melas mengiba uang recehan yang menggetarkan hati.
Tak ada uang recehan yang layak untuk semua usaha di kota yang mati.
Mereka tak layak menerima recehan yang hanya akan menjadikan dirinya sampah.
PESAN DARI ANAK JALANAN
Posted by Unknown on 06.05. PUISI - No comments
Tubuhku masih mungil, tapi beban
ini begitu berat
Tak banyak yang bisa aku kerjakan
Hanya mangkuk kecil yang selalu
menemaniku
Di kala terik matahari membakar
kulitku
Di kala hujan membasahi tubuhku
ini
Semua itu demi recehan dari uluran
tangan mereka..
Aku ingin mengadu, tapi kepada
siapakah aku mengadu??
Aku tak memiliki orang tua lagi,
hidupku sebatang kara..
Aku tak begitu mengenal Tuhan..
Tak ada yang mengajari akan hal
itu
Yang aku tahu, kini aku hidup
dalam dunia kardus
Dunia yang hampa, tak ada yang
mewah dari hidupku ini
Hanya kekerasan yang selalu
menjadi tontonanku..
Aku ingin lari, tapi aku sadar
takkan ada yang mengejarku
Hanya satpol PP yang terkadang
menghancurkan rumahku..
Jika itu terjadi, aku hanya bisa
tidur dengan berselimut Koran di depan ruko..
Aku menangis kelaparan, tak ada
yang mendengar..
Tubuhku lemah, aku memilih tempat
sampah sebagai energiku..
Disana ku dapati banyak makanan
basi yang di buang..
Aku tak punya pilihan, aku
memakannya..
Aku tak pernah berpikir akan
kesehatanku
Jika aku mati mungkin lebih baik
Jika dibandingkan kalau aku hidup
terus di jalanan… ==================================================
Sumber:Remember For Things
RAKYAT
Posted by Unknown on 06.00. ANAK JALANAN,ARTIKEL - No comments
Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan (Kompas, 13/10/2012). Tetapi pertanyaan yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana jika rakyat kita sudah ketularan mental partai politik yang instan, serba uang, dan asal memilih pemimpin? Perlu rasanya ada semacam follow up dari pemikiran Cak Nun yang kemudian diimplementasikan di lingkungan masyarakat, baik di ruang pendidikan seperti sekolah, tempat-tempat ibadah, agar lembaga pendidikan tidak hanya menjadi lembaga pencetak ijazah dan (minimal) rakyat sadar akan karakteristik pemimpin masa depan yang bisa memikirkan mereka.
Suatu waktu, saya pernah mengantar teman saya yang ingin berbagi dengan masyarakat di daerah Gunung Kidul. Ketika teman saya datang ke rumah-rumah, membagikan beras, minyak goreng, amplop yang berisi uang, pertanyaan yang muncul dari rakyat, “ini dari partai apa?”, di lain tempat “ini dari calon yang mana?”, di tempat yang lain lagi, “saya harus milih gambar apa?”. Sungguh ironis sekali saya mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal kami tidak punya kepentingan apa-apa, kecuali hanya berbagi dengan mereka. Kami tidak membawa kamera layaknya para “selebritis” partai politik.
Di waktu yang lain, di sebuah kampung di Sumenep, menjelang pemilihan pemimpin atau calon legislator, gambar-gambar yang mencitrakan diri mereka sebagai sosok terbaik untuk dipilih bertaburan di sudut-sudut desa, orang-orang di lingkungan kampung itu berujar, “pokoknya tongket kentos” yakni settong saeket lebbi sekken saratos artinya satu suara lima puluh ribu, lebih kuat seratus ribu. Jika tidak seperti itu, rakyat mengancam untuk tidak datang ke TPS. Demokrasi macam apa ini? Rakyat (yang dianggap Cak Nun sebagai Tuhan) macam apa ini? Apakah rakyat sudah merasa bahwa tidak ada pemimpin yang layak untuk dipilih? Tidak ada calon legislator yang pantas mewakili mereka di parlemen? Atau ini sudah tiba di zaman edan, sehingga rakyat yang dianggap sebagai tuhan juga ikut edan.
Ternyata bukan hanya pemimpin yang harus punya hati nurani, rakyat pun butuh hati nurani. Jika rakyat yang memegang kedaulatan penuh dalam negara demokrasi, memilih wakil-wakilnya di parlemen, memilih presiden dalam pemilihan langsung secara sembrono, asalkan mendapatkan uang secuil yang hanya bisa habis dalam dua hari, maka jangan salahkan jika pemimpinnya bersikap “gelap mata”, karena mereka harus mengembalikan modal dari ongkos pemilihan yang sebenarnya juga “dijarah” oleh rakyat. Mari kita perbaiki mentalitas rakyat dalam memilih pemimpin, tolak bersama-sama money politic, agar rakyat benar-benar menjadi tuhan dan pemegang kedaulatan dalam tata kelola demokrasi kita.
Mentalitas
Mentalitas buruk rakyat yang menggurita belakangan ini telah mendera sistem demokrasi kita. Tidak jarang belakangan ini ada orang-orang yang melakukan demonstrasi karena mendapatkan bayaran, menjadi jamaah pengajian di televisi karena bayaran, menjadi saksi di TPS ketika pemilihan karena bayaran. Bayaran dan bayaran. Peristiwa ini adalah ironi bagi rakyat kita. Guru-guru di negeri ini berdemonstrasi menuntut bayaran. Mereka berbondong-bondong untuk mengejar sertifikasi agar mendapatkan bayaran yang lebih besar. Sementara muridnya? Yang penting mereka mengajar, entah muridnya mau menjadi orang baik atau tidak, “mereka” tidak ngurus, mau tawuran atau tidak, “mereka” tidak ngurus.
Itulah sebabnya, rakyat kita sudah kehilangan nilai-nilai “kerakyatan”nya. Semangat materialisme telah menjadi nurani rakyat. Kepada tokoh-tokoh bangsa yang punya kepedulian, mari kita perbaiki mentalitas rakyat kita, mulai dari ruang lingkup yang terkecil, dalam keluarga kita masing-masing, lingkungan kampung, RT, RW, Desa, dan Kecamatan. Tak lain dan tak bukan, cara mensyukuri kemerdekaan bangsa ini adalah dengan cara mengembalikan mentalitas rakyat kita pada nilai-nilai kerakyatannya yang hakiki. Mari kita tanamkan kembali wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan kesadaran masing-masing individu untuk menjadi rakyat yang punya hati nurani.
Bangsa ini memang sudah hancur lebur. Kekayaan rakyat yang tertanam di bumi dan laut kita telah dikuasai oleh asing. Undang-undang kita ternyata tidak berpihak kepada hak hidup rakyat. Para wakil rakyat di parlemen yang telah dipilih oleh rakyat ternyata seenaknya sendiri. Jangan salahkan mereka, karena mereka butuh mengembalikan modal pemilihan. Mari kita instropeksi, bagaimana cara kita memilih wakil kita di legislatif.
Jika di tahun-tahun yang akan datang, mentalitas kita dalam pemilihan selalu mengharapkan tongket kentos, jangan harapkan pemimpin atau legislator yang mewakili rakyat di parlemen akan menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Jangan heran, kalau negeri kita yang punya banyak kekayaan di laut, ternyata ikan masih banyak yang mengimpor. Akhirnya, kita hanya bisa merasa sakit, sebagaimana yang digaungkan penyair Sutardji Calzoum Bachri: segala yang tertusuk padamu/ berdarah padaku.***
Budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan (Kompas, 13/10/2012). Tetapi pertanyaan yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana jika rakyat kita sudah ketularan mental partai politik yang instan, serba uang, dan asal memilih pemimpin? Perlu rasanya ada semacam follow up dari pemikiran Cak Nun yang kemudian diimplementasikan di lingkungan masyarakat, baik di ruang pendidikan seperti sekolah, tempat-tempat ibadah, agar lembaga pendidikan tidak hanya menjadi lembaga pencetak ijazah dan (minimal) rakyat sadar akan karakteristik pemimpin masa depan yang bisa memikirkan mereka.
Suatu waktu, saya pernah mengantar teman saya yang ingin berbagi dengan masyarakat di daerah Gunung Kidul. Ketika teman saya datang ke rumah-rumah, membagikan beras, minyak goreng, amplop yang berisi uang, pertanyaan yang muncul dari rakyat, “ini dari partai apa?”, di lain tempat “ini dari calon yang mana?”, di tempat yang lain lagi, “saya harus milih gambar apa?”. Sungguh ironis sekali saya mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal kami tidak punya kepentingan apa-apa, kecuali hanya berbagi dengan mereka. Kami tidak membawa kamera layaknya para “selebritis” partai politik.
Di waktu yang lain, di sebuah kampung di Sumenep, menjelang pemilihan pemimpin atau calon legislator, gambar-gambar yang mencitrakan diri mereka sebagai sosok terbaik untuk dipilih bertaburan di sudut-sudut desa, orang-orang di lingkungan kampung itu berujar, “pokoknya tongket kentos” yakni settong saeket lebbi sekken saratos artinya satu suara lima puluh ribu, lebih kuat seratus ribu. Jika tidak seperti itu, rakyat mengancam untuk tidak datang ke TPS. Demokrasi macam apa ini? Rakyat (yang dianggap Cak Nun sebagai Tuhan) macam apa ini? Apakah rakyat sudah merasa bahwa tidak ada pemimpin yang layak untuk dipilih? Tidak ada calon legislator yang pantas mewakili mereka di parlemen? Atau ini sudah tiba di zaman edan, sehingga rakyat yang dianggap sebagai tuhan juga ikut edan.
Ternyata bukan hanya pemimpin yang harus punya hati nurani, rakyat pun butuh hati nurani. Jika rakyat yang memegang kedaulatan penuh dalam negara demokrasi, memilih wakil-wakilnya di parlemen, memilih presiden dalam pemilihan langsung secara sembrono, asalkan mendapatkan uang secuil yang hanya bisa habis dalam dua hari, maka jangan salahkan jika pemimpinnya bersikap “gelap mata”, karena mereka harus mengembalikan modal dari ongkos pemilihan yang sebenarnya juga “dijarah” oleh rakyat. Mari kita perbaiki mentalitas rakyat dalam memilih pemimpin, tolak bersama-sama money politic, agar rakyat benar-benar menjadi tuhan dan pemegang kedaulatan dalam tata kelola demokrasi kita.
Mentalitas
Mentalitas buruk rakyat yang menggurita belakangan ini telah mendera sistem demokrasi kita. Tidak jarang belakangan ini ada orang-orang yang melakukan demonstrasi karena mendapatkan bayaran, menjadi jamaah pengajian di televisi karena bayaran, menjadi saksi di TPS ketika pemilihan karena bayaran. Bayaran dan bayaran. Peristiwa ini adalah ironi bagi rakyat kita. Guru-guru di negeri ini berdemonstrasi menuntut bayaran. Mereka berbondong-bondong untuk mengejar sertifikasi agar mendapatkan bayaran yang lebih besar. Sementara muridnya? Yang penting mereka mengajar, entah muridnya mau menjadi orang baik atau tidak, “mereka” tidak ngurus, mau tawuran atau tidak, “mereka” tidak ngurus.
Itulah sebabnya, rakyat kita sudah kehilangan nilai-nilai “kerakyatan”nya. Semangat materialisme telah menjadi nurani rakyat. Kepada tokoh-tokoh bangsa yang punya kepedulian, mari kita perbaiki mentalitas rakyat kita, mulai dari ruang lingkup yang terkecil, dalam keluarga kita masing-masing, lingkungan kampung, RT, RW, Desa, dan Kecamatan. Tak lain dan tak bukan, cara mensyukuri kemerdekaan bangsa ini adalah dengan cara mengembalikan mentalitas rakyat kita pada nilai-nilai kerakyatannya yang hakiki. Mari kita tanamkan kembali wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan kesadaran masing-masing individu untuk menjadi rakyat yang punya hati nurani.
Bangsa ini memang sudah hancur lebur. Kekayaan rakyat yang tertanam di bumi dan laut kita telah dikuasai oleh asing. Undang-undang kita ternyata tidak berpihak kepada hak hidup rakyat. Para wakil rakyat di parlemen yang telah dipilih oleh rakyat ternyata seenaknya sendiri. Jangan salahkan mereka, karena mereka butuh mengembalikan modal pemilihan. Mari kita instropeksi, bagaimana cara kita memilih wakil kita di legislatif.
Jika di tahun-tahun yang akan datang, mentalitas kita dalam pemilihan selalu mengharapkan tongket kentos, jangan harapkan pemimpin atau legislator yang mewakili rakyat di parlemen akan menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Jangan heran, kalau negeri kita yang punya banyak kekayaan di laut, ternyata ikan masih banyak yang mengimpor. Akhirnya, kita hanya bisa merasa sakit, sebagaimana yang digaungkan penyair Sutardji Calzoum Bachri: segala yang tertusuk padamu/ berdarah padaku.***
KRITIS KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Posted by Unknown on 05.55. ANAK JALANAN,ARTIKEL - No comments
Kehadiran UU Keterbukaan
Informasi Publik (KIP) memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi
publik bukan saja merupakan bagian dari hak asasi manusia secara
universal, namun juga merupakan constitutional rights sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28F perubahan kedua UUD 1945 : "Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".
Setiap informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik, patut diketahui oleh masyarakat, baik itu dari badan publik pemerintah maupun swasta, yang mendapat dan menggunakan dana APBN dan APBD.
Setiap informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik, patut diketahui oleh masyarakat, baik itu dari badan publik pemerintah maupun swasta, yang mendapat dan menggunakan dana APBN dan APBD.
CATATAN KRITIS DUNIA PENDIDIKAN NTT
Posted by Unknown on 05.52. ANAK JALANAN,ARTIKEL - No comments
Masih dilansir dalam media
di NTT, isu buta aksara sampai dengan tahun 2012 masih tinggi. Ditambah
lagi angka putus sekolah dengan kecenderungan perempuan lebih tinggi
dibanding laki-laki menambah semakin tingginya angka buta aksara yang
tidak hanya usia non sekolah namun juga usia sekolah. Hal ini tentu
sangat jauh dari harapan pemenuhan target MDGs dimana salah satu
indikator pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
menurut MDGs adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun.
Kelompok penduduk usia sekolah ini adalah kelompok penduduk usia
produktif, sebagai sumber daya pembangunan yang seharusnya memiliki
pendidikan yang memadai dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak.
Artikel anak Jalanan
Posted by Unknown on 05.44. ANAK JALANAN - No comments
Aku Hanyalah Anak Jalanan
Seorang bapak dan ibu menemuiku. Mereka membawa buletin kami yang terbaru. Katanya mereka mendapatkan buletin itu dari temannya. Mereka memuji-muji buletin kami yang mengisahkan kehidupan anak-anak dampingan. Pembicaraan kami berlanjut pada isi buletin. Akhirnya bapak itu mempertanyakan mengapa terjadi banyak pencurian dalam rumah kami. apakah tidak ada cara untuk menghentikan pencurian?
Apakah aku tidak melaporkan saja semua itu pada polisi?
Mengapa aku masih berusaha melindungi mereka?
Mengapa aku masih bertahan dan menampung mereka? Mengapa tidak menutup saja rumah singgah itu dan membuka pelayanan lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah sering kudengar. Ini bukan pertanyaan baru lagi. Aku berusaha menjelaskan bahwa pendampingan anak jalanan itu sulit. Sebelum masuk dalam aktifitas ini aku sudah tahu akan resiko yang bakal aku terima selama pendampingan ini. Mengubah seseorang butuh waktu. Apalagi yang menyangkut nilai dan perilaku. Ini tidak mudah. Butuh proses yang lama dan panjang. Memang gambaranku sebelum masuk itu tidak separah setelah aku menjalaninya selama ini. Banyak kesulitan yang muncul, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Seorang bapak dan ibu menemuiku. Mereka membawa buletin kami yang terbaru. Katanya mereka mendapatkan buletin itu dari temannya. Mereka memuji-muji buletin kami yang mengisahkan kehidupan anak-anak dampingan. Pembicaraan kami berlanjut pada isi buletin. Akhirnya bapak itu mempertanyakan mengapa terjadi banyak pencurian dalam rumah kami. apakah tidak ada cara untuk menghentikan pencurian?
Apakah aku tidak melaporkan saja semua itu pada polisi?
Mengapa aku masih berusaha melindungi mereka?
Mengapa aku masih bertahan dan menampung mereka? Mengapa tidak menutup saja rumah singgah itu dan membuka pelayanan lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah sering kudengar. Ini bukan pertanyaan baru lagi. Aku berusaha menjelaskan bahwa pendampingan anak jalanan itu sulit. Sebelum masuk dalam aktifitas ini aku sudah tahu akan resiko yang bakal aku terima selama pendampingan ini. Mengubah seseorang butuh waktu. Apalagi yang menyangkut nilai dan perilaku. Ini tidak mudah. Butuh proses yang lama dan panjang. Memang gambaranku sebelum masuk itu tidak separah setelah aku menjalaninya selama ini. Banyak kesulitan yang muncul, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
INDAH PADA WAKTUNYA
Posted by Unknown on 05.22. ARTIKEL,CERPEN - No comments
Ada seorang anak laki-laki yang berambisi bahwa Suatu hari
nanti ia akan menjadi jenderal Angkatan Darat. Anak itu pandai dan
memiliki ciri-ciri yang lebih daripada cukup untuk dapat membawa nya
kemanapun ia mau. Untuk itu ia bersyukur kepada Tuhan, oleh karena ia
adalah seorang anak yang takut akan Tuhan dan ia selalu berdoa agar
supaya suatu hari nanti impiannya itu akan menjadi kenyataan.
Sayang sekali, ketika saatnya tiba baginya untuk bergabung dengan Angkatan Darat, ia ditolak oleh karena memiliki telapak kaki rata. Setelah berulang kali berusaha, ia kemudian melepaskan hasratnya untuk menjadi jenderal dan untuk hal itu ia mempersalahkan Tuhan yang tidak menjawab doanya. Ia merasa seperti berada seorang diri, dengan perasaan yang kalah, dan di atas segalanya, rasa amarah yang belum pernah dialaminya sebelumnya.
Sayang sekali, ketika saatnya tiba baginya untuk bergabung dengan Angkatan Darat, ia ditolak oleh karena memiliki telapak kaki rata. Setelah berulang kali berusaha, ia kemudian melepaskan hasratnya untuk menjadi jenderal dan untuk hal itu ia mempersalahkan Tuhan yang tidak menjawab doanya. Ia merasa seperti berada seorang diri, dengan perasaan yang kalah, dan di atas segalanya, rasa amarah yang belum pernah dialaminya sebelumnya.