Premium WordPress Themes

Jumat, 09 Agustus 2013

RAKYAT

Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
 Budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan (Kompas, 13/10/2012). Tetapi pertanyaan yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana jika rakyat kita sudah ketularan mental partai politik yang instan, serba uang, dan asal memilih pemimpin? Perlu rasanya ada semacam follow up dari pemikiran Cak Nun yang kemudian diimplementasikan di lingkungan masyarakat, baik di ruang pendidikan seperti sekolah, tempat-tempat ibadah, agar lembaga pendidikan tidak hanya menjadi lembaga pencetak ijazah dan (minimal) rakyat sadar akan karakteristik pemimpin masa depan yang bisa memikirkan mereka.
Suatu waktu, saya pernah mengantar teman saya yang ingin berbagi dengan masyarakat di daerah Gunung Kidul. Ketika teman saya datang ke rumah-rumah, membagikan beras, minyak goreng, amplop yang berisi uang, pertanyaan yang muncul dari rakyat, “ini dari partai apa?”, di lain tempat “ini dari calon yang mana?”, di tempat yang lain lagi, “saya harus milih gambar apa?”. Sungguh ironis sekali saya mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal kami tidak punya kepentingan apa-apa, kecuali hanya berbagi dengan mereka. Kami tidak membawa kamera layaknya para “selebritis” partai politik.
Di waktu yang lain, di sebuah kampung di Sumenep, menjelang pemilihan pemimpin atau calon legislator, gambar-gambar yang mencitrakan diri mereka sebagai sosok terbaik untuk dipilih bertaburan di sudut-sudut desa, orang-orang di lingkungan kampung itu berujar, “pokoknya tongket kentos” yakni settong saeket lebbi sekken saratos artinya satu suara lima puluh ribu, lebih kuat seratus ribu. Jika tidak seperti itu, rakyat mengancam untuk tidak datang ke TPS. Demokrasi macam apa ini? Rakyat (yang dianggap Cak Nun sebagai Tuhan) macam apa ini? Apakah rakyat sudah merasa bahwa tidak ada pemimpin yang layak untuk dipilih? Tidak ada calon legislator yang pantas mewakili mereka di parlemen? Atau ini sudah tiba di zaman edan, sehingga rakyat yang dianggap sebagai tuhan juga ikut edan.
Ternyata bukan hanya pemimpin yang harus punya hati nurani, rakyat pun butuh hati nurani. Jika rakyat yang memegang kedaulatan penuh dalam negara demokrasi, memilih wakil-wakilnya di parlemen, memilih presiden dalam pemilihan langsung secara sembrono, asalkan mendapatkan uang secuil yang hanya bisa habis dalam dua hari, maka jangan salahkan jika pemimpinnya bersikap “gelap mata”, karena mereka harus mengembalikan modal dari ongkos pemilihan yang sebenarnya juga “dijarah” oleh rakyat. Mari kita perbaiki mentalitas rakyat dalam memilih pemimpin, tolak bersama-sama money politic, agar rakyat benar-benar menjadi tuhan dan pemegang kedaulatan dalam tata kelola demokrasi kita.

Mentalitas
Mentalitas buruk rakyat yang menggurita belakangan ini telah mendera sistem demokrasi kita. Tidak jarang belakangan ini ada orang-orang yang melakukan demonstrasi karena mendapatkan bayaran, menjadi jamaah pengajian di televisi karena bayaran, menjadi saksi di TPS ketika pemilihan karena bayaran. Bayaran dan bayaran. Peristiwa ini adalah ironi bagi rakyat kita. Guru-guru di negeri ini berdemonstrasi menuntut bayaran. Mereka berbondong-bondong untuk mengejar sertifikasi agar mendapatkan bayaran yang lebih besar. Sementara muridnya? Yang penting mereka mengajar, entah muridnya mau menjadi orang baik atau tidak, “mereka” tidak ngurus, mau tawuran atau tidak, “mereka” tidak ngurus.
Itulah sebabnya, rakyat kita sudah kehilangan nilai-nilai “kerakyatan”nya. Semangat materialisme telah menjadi nurani rakyat. Kepada tokoh-tokoh bangsa yang punya kepedulian, mari kita perbaiki mentalitas rakyat kita, mulai dari ruang lingkup yang terkecil, dalam keluarga kita masing-masing, lingkungan kampung, RT, RW, Desa, dan Kecamatan. Tak lain dan tak bukan, cara mensyukuri kemerdekaan bangsa ini adalah dengan cara mengembalikan mentalitas rakyat kita pada nilai-nilai kerakyatannya yang hakiki. Mari kita tanamkan kembali wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan kesadaran masing-masing individu untuk menjadi rakyat yang punya hati nurani.
Bangsa ini memang sudah hancur lebur. Kekayaan rakyat yang tertanam di bumi dan laut kita telah dikuasai oleh asing. Undang-undang kita ternyata tidak berpihak kepada hak hidup rakyat. Para wakil rakyat di parlemen yang telah dipilih oleh rakyat ternyata seenaknya sendiri. Jangan salahkan mereka, karena mereka butuh mengembalikan modal pemilihan. Mari kita instropeksi, bagaimana cara kita memilih wakil kita di legislatif.
Jika di tahun-tahun yang akan datang, mentalitas kita dalam pemilihan selalu mengharapkan tongket kentos, jangan harapkan pemimpin atau legislator yang mewakili rakyat di parlemen akan menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Jangan heran, kalau negeri kita yang punya banyak kekayaan di laut, ternyata ikan masih banyak yang mengimpor. Akhirnya, kita hanya bisa merasa sakit, sebagaimana yang digaungkan penyair Sutardji Calzoum Bachri: segala yang tertusuk padamu/ berdarah padaku.*** 

0 komentar:

Posting Komentar

KOTAK KOMENTAR

Nama

Email *

Pesan *