Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa rakyat adalah pemegang
kedaulatan (Kompas, 13/10/2012). Tetapi pertanyaan yang harus diajukan
kemudian adalah bagaimana jika rakyat kita sudah ketularan mental partai
politik yang instan, serba uang, dan asal memilih pemimpin? Perlu
rasanya ada semacam follow up dari pemikiran Cak Nun yang
kemudian diimplementasikan di lingkungan masyarakat, baik di ruang
pendidikan seperti sekolah, tempat-tempat ibadah, agar lembaga
pendidikan tidak hanya menjadi lembaga pencetak ijazah dan (minimal)
rakyat sadar akan karakteristik pemimpin masa depan yang bisa memikirkan
mereka.
Suatu waktu, saya pernah mengantar teman saya yang ingin berbagi
dengan masyarakat di daerah Gunung Kidul. Ketika teman saya datang ke
rumah-rumah, membagikan beras, minyak goreng, amplop yang berisi uang,
pertanyaan yang muncul dari rakyat, “ini dari partai apa?”, di lain
tempat “ini dari calon yang mana?”, di tempat yang lain lagi, “saya
harus milih gambar apa?”. Sungguh ironis sekali saya mendengar
pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal kami tidak punya kepentingan apa-apa,
kecuali hanya berbagi dengan mereka. Kami tidak membawa kamera layaknya
para “selebritis” partai politik.
Di waktu yang lain, di sebuah kampung di Sumenep, menjelang pemilihan
pemimpin atau calon legislator, gambar-gambar yang mencitrakan diri
mereka sebagai sosok terbaik untuk dipilih bertaburan di sudut-sudut
desa, orang-orang di lingkungan kampung itu berujar, “pokoknya tongket kentos” yakni settong saeket lebbi sekken saratos artinya
satu suara lima puluh ribu, lebih kuat seratus ribu. Jika tidak seperti
itu, rakyat mengancam untuk tidak datang ke TPS. Demokrasi macam apa
ini? Rakyat (yang dianggap Cak Nun sebagai Tuhan) macam apa ini? Apakah
rakyat sudah merasa bahwa tidak ada pemimpin yang layak untuk dipilih?
Tidak ada calon legislator yang pantas mewakili mereka di parlemen? Atau
ini sudah tiba di zaman edan, sehingga rakyat yang dianggap sebagai
tuhan juga ikut edan.
Ternyata bukan hanya pemimpin yang harus punya hati nurani, rakyat
pun butuh hati nurani. Jika rakyat yang memegang kedaulatan penuh dalam
negara demokrasi, memilih wakil-wakilnya di parlemen, memilih presiden
dalam pemilihan langsung secara sembrono, asalkan mendapatkan
uang secuil yang hanya bisa habis dalam dua hari, maka jangan salahkan
jika pemimpinnya bersikap “gelap mata”, karena mereka harus
mengembalikan modal dari ongkos pemilihan yang sebenarnya juga “dijarah”
oleh rakyat. Mari kita perbaiki mentalitas rakyat dalam memilih
pemimpin, tolak bersama-sama money politic, agar rakyat benar-benar menjadi tuhan dan pemegang kedaulatan dalam tata kelola demokrasi kita.
Mentalitas
Mentalitas buruk rakyat yang menggurita belakangan ini telah mendera
sistem demokrasi kita. Tidak jarang belakangan ini ada orang-orang yang
melakukan demonstrasi karena mendapatkan bayaran, menjadi jamaah
pengajian di televisi karena bayaran, menjadi saksi di TPS ketika
pemilihan karena bayaran. Bayaran dan bayaran. Peristiwa ini adalah
ironi bagi rakyat kita. Guru-guru di negeri ini berdemonstrasi menuntut
bayaran. Mereka berbondong-bondong untuk mengejar sertifikasi agar
mendapatkan bayaran yang lebih besar. Sementara muridnya? Yang penting
mereka mengajar, entah muridnya mau menjadi orang baik atau tidak,
“mereka” tidak ngurus, mau tawuran atau tidak, “mereka” tidak ngurus.
Itulah sebabnya, rakyat kita sudah kehilangan nilai-nilai
“kerakyatan”nya. Semangat materialisme telah menjadi nurani rakyat.
Kepada tokoh-tokoh bangsa yang punya kepedulian, mari kita perbaiki
mentalitas rakyat kita, mulai dari ruang lingkup yang terkecil, dalam
keluarga kita masing-masing, lingkungan kampung, RT, RW, Desa, dan
Kecamatan. Tak lain dan tak bukan, cara mensyukuri kemerdekaan bangsa
ini adalah dengan cara mengembalikan mentalitas rakyat kita pada
nilai-nilai kerakyatannya yang hakiki. Mari kita tanamkan kembali
wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan kesadaran masing-masing individu
untuk menjadi rakyat yang punya hati nurani.
Bangsa ini memang sudah hancur lebur. Kekayaan rakyat yang tertanam
di bumi dan laut kita telah dikuasai oleh asing. Undang-undang kita
ternyata tidak berpihak kepada hak hidup rakyat. Para wakil rakyat di
parlemen yang telah dipilih oleh rakyat ternyata seenaknya sendiri.
Jangan salahkan mereka, karena mereka butuh mengembalikan modal
pemilihan. Mari kita instropeksi, bagaimana cara kita memilih wakil kita
di legislatif.
Jika di tahun-tahun yang akan datang, mentalitas kita dalam pemilihan selalu mengharapkan tongket kentos, jangan
harapkan pemimpin atau legislator yang mewakili rakyat di parlemen akan
menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Jangan
heran, kalau negeri kita yang punya banyak kekayaan di laut, ternyata
ikan masih banyak yang mengimpor. Akhirnya, kita hanya bisa merasa
sakit, sebagaimana yang digaungkan penyair Sutardji Calzoum Bachri: segala yang tertusuk padamu/ berdarah padaku.***
Jumat, 09 Agustus 2013
RAKYAT
Posted by Unknown on 06.00. ANAK JALANAN,ARTIKEL - No comments
0 komentar:
Posting Komentar