Masih dilansir dalam media
di NTT, isu buta aksara sampai dengan tahun 2012 masih tinggi. Ditambah
lagi angka putus sekolah dengan kecenderungan perempuan lebih tinggi
dibanding laki-laki menambah semakin tingginya angka buta aksara yang
tidak hanya usia non sekolah namun juga usia sekolah. Hal ini tentu
sangat jauh dari harapan pemenuhan target MDGs dimana salah satu
indikator pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
menurut MDGs adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun.
Kelompok penduduk usia sekolah ini adalah kelompok penduduk usia
produktif, sebagai sumber daya pembangunan yang seharusnya memiliki
pendidikan yang memadai dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak.
Kritisnya permasalahan pendidikan di Nusa Tenggara Timur, tergambar pada Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 88,74 % (BPS), jauh dari rata-rata nasional 92,7%, yang mana NTT sendiri oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dikategorikan sebagai salah satu dari 4 Provinsi dengan buta aksara diusia 15-59 tahun mencapai lebih dari 10 persen dari jumlah penduduk.
Sementara itu, sangat miris bila data-data diatas kita sandingkan dengan penjabaran program kegiatan dalam RKA Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga NTT dimana tidak tertuang program keaksaraan fungsional yang seharusnya diperuntukkan bagi buta aksara bukan usia sekolah. Rencana program dan kegiatan yang tertuang adalah penyelenggaraan kejar paket B dan paket C, yang dititipkan dalam program yang bernama peningkatan mutu pendidik.
Prestasi pendidikan di Nusa Tenggara Timur juga sangat menyedihkan. Pada tahun 2010 dari jumlah peserta yang mengikuti Ujian Nasional sebanyak 35.201, hanya 16.868 atau 47,59 % yang dinyatakan lulus, sedangkan siswa yang tidak lulus sebanyak 18.333 atau 52,08 % yang mengakibatkan Nusa Tenggara Timur berada diperingkat 33 dari 33 provinsi di Indonesia dan posisi ini terus berulang pada tahun 2011 dan 2012.
Terpuruknya kondisi pendidikan di Nusa Tenggara Timur, nampaknya belum mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan ditingkat daerah. DPRD dan Eksekutif daerah di Nusa Tenggara Timur, pada tahun anggaran 2011 hanya mengalokasikan anggaran pendidikan 8,12% dari total Belanja Daerah, sementara untuk Tahun Anggaran 2012 hanya sebesar 4%, dan jumlah anggaran pendidikan di Nusa Tenggara Timur terus menurun drastis hingga dalam RAPBD NTT Tahun Anggaran 2013 hanya dialokasikan sebesar 2,5% dari total belanja RAPBD sebesar Rp. 2.338.729.878.109-, jauh dari amanah UUD 1945 amandemen IV tahun 2002 Pasal 31 ayat (4) yang menyebutkan bahwa: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang -kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Walaupun terdapat alokasi Belanja Hibah BOS kepada Pendidikan Dasar yang bersumber dari APBN sebesar Rp. 714.538.400.000,- yang membuat Eksekutif mapun legislatif NTT sering berbangga diri memiliki anggaran pendidikan lebih dari target 20%, namun pengalokasian seperti ini menggambarkan bagaimana bentuk ketidakperhatian penyelenggara negara di NTT terhadap dunia pendidikan dengan permasalahan yang ada, serta tidak sinkronnya masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan dengan bentuk penanganan lewat kebijakan anggaran yang dilakukan Eksekutif maupun Legislatif.
Selain itu, timbul kesan seolah dunia pendidikan di Nusa Tenggara Timur tidak bisa berjalan bila tidak ada intervensi anggaran dari pusat. Menjadi pertanyaan disini, apabila alokasi dana BOS dari pusat ini hilang, akan menjadi seperti apa dunia pendidikan di Nusa Tenggara Timur?
Pertanyaan ini muncul tak kala kita mengamati besaran anggaran yang dialokasikan RAPBD lewat dinas PPO sebesar 2,5% dari total Belanja Daerah, dalam penjabarannya tergambar jelas modus perampokan uang rakyat secara terencana.
Dari alokasi Belanja Daerah pada Dinas PPO sebesar Rp. 58.367.348.000,- pada kode rekening 1.01.1.01.01.00.00.5 hampir seluruhnya merupakan belanja untuk operasional aparatur negara termasuk didalamnya Belanja Perjalanan Dinas yang diselipkan dalam setiap nama program. Dari uang puluhan milyard rupiah tersebut, dalam Penjabaran RAPBD NTT tahun 2013 hanya terdapat Rp. 42.500.000, - (0,07%) yang pengalokasiannya langsung pada masyarakat lewat Belanja Bantuan untuk Sekolah, sedangkan sisanya Rp. 58.324.848.000 (99,93%) dihabiskan oleh aparatur negara, diantaranya Rp. 4.095.703.000,- (7,02%) yang dialokasikan untuk Perjalanan Dinas.
Miris sekali bila kita mencermati data yang ada, di Nusa Tenggara Timur terdapat 19.781 anak usia sekolah yang tidak bersekolah, lebih dari 62.000 lainnya tidak mampu melanjutkan sekolah, sehingga total sekitar 82.000 anak terbengkalai pendidikannya. Sebanyak 930.000 lebih anak usia sekolah saat ini tidak sepenuhnya menikmati pendidikan di sekolah yang jumlahnya diperkirakan sekitar lebih dari 5.502 (http://chelluzpahun.wordpress.com/2012/06/04/10-besar-daerah-dengan-kasus-putus-sekolah-tertinggi/). Ini berarti, Pemerintah Daerah NTT baik Eksekutif maupun Legislatif hanya mengalokasikan Rp. 45 lebih bagi setiap peserta didik yang membutuhkan penanganan, itupun bila dana ini tersalur 100% sampai pada penerima sebenarnya tanpa disalahgunakan.
Selain itu dalam program-program yang ada terdapat berbagai kejanggalan, serta model program yang secara terencana berupaya menghamburkan uang rakyat tanpa ada indikator yang jelas. Misalnya Program “Peningkatan Mutu Jam Belajar Siswa” yang dari alokasi anggaran sebesar Rp. 415,722.000, dihabiskan hanya untuk Honorarium PNS, Transportasi dan Akomodasi, Publikasi, Makan Minum Kegiatan dan Perjalanan Dinas atau 100% untuk aparatur. Lalu akankah ada peningkatan mutu jam belajar siswa dengan banyaknya uang rakyat yang dihabiskan seperti ini? Apakah yang menjustifikasi kegiatan ini nantinya bisa membuat jam belajar siswa lebih bermutu? Lalu bermutu seperti apa jam belajar yang ditargetkan program ini? Jelas ini adalah bentuk perampokan uang rakyat secara terencana.
Model kebijakan anggaran sebagaimana disebutkan, tentunya sangat berbanding terbalik dengan target Pemerintah Daerah NTT untuk Bebas Buta Aksara pada Tahun 2016, dimana saat ini jumlah Buta aksara di NTT berjumlah 179.273 orang, serta bertentangan dengan arahan RPJMD NTT 2009-2013 yang berbicara tentang pemberatasan buta aksara dan pembangunan yang responsif gender.
Berbagai permasalahan diatas, dapat disinyalir sebagai alasan pembenar, mengapa Nusa Tenggara Timur selalu berada pada peringkat ke 31 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 33 provinsi di Indonesia, dimana Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT 67,75%, masih sangat jauh bila dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tingkat nasional yaitu sebesar 72,60%.
=============================================
Sumber: Catatan YAYASAN SETARA
Kritisnya permasalahan pendidikan di Nusa Tenggara Timur, tergambar pada Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 88,74 % (BPS), jauh dari rata-rata nasional 92,7%, yang mana NTT sendiri oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dikategorikan sebagai salah satu dari 4 Provinsi dengan buta aksara diusia 15-59 tahun mencapai lebih dari 10 persen dari jumlah penduduk.
Sementara itu, sangat miris bila data-data diatas kita sandingkan dengan penjabaran program kegiatan dalam RKA Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga NTT dimana tidak tertuang program keaksaraan fungsional yang seharusnya diperuntukkan bagi buta aksara bukan usia sekolah. Rencana program dan kegiatan yang tertuang adalah penyelenggaraan kejar paket B dan paket C, yang dititipkan dalam program yang bernama peningkatan mutu pendidik.
Prestasi pendidikan di Nusa Tenggara Timur juga sangat menyedihkan. Pada tahun 2010 dari jumlah peserta yang mengikuti Ujian Nasional sebanyak 35.201, hanya 16.868 atau 47,59 % yang dinyatakan lulus, sedangkan siswa yang tidak lulus sebanyak 18.333 atau 52,08 % yang mengakibatkan Nusa Tenggara Timur berada diperingkat 33 dari 33 provinsi di Indonesia dan posisi ini terus berulang pada tahun 2011 dan 2012.
Terpuruknya kondisi pendidikan di Nusa Tenggara Timur, nampaknya belum mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan ditingkat daerah. DPRD dan Eksekutif daerah di Nusa Tenggara Timur, pada tahun anggaran 2011 hanya mengalokasikan anggaran pendidikan 8,12% dari total Belanja Daerah, sementara untuk Tahun Anggaran 2012 hanya sebesar 4%, dan jumlah anggaran pendidikan di Nusa Tenggara Timur terus menurun drastis hingga dalam RAPBD NTT Tahun Anggaran 2013 hanya dialokasikan sebesar 2,5% dari total belanja RAPBD sebesar Rp. 2.338.729.878.109-, jauh dari amanah UUD 1945 amandemen IV tahun 2002 Pasal 31 ayat (4) yang menyebutkan bahwa: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang -kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Walaupun terdapat alokasi Belanja Hibah BOS kepada Pendidikan Dasar yang bersumber dari APBN sebesar Rp. 714.538.400.000,- yang membuat Eksekutif mapun legislatif NTT sering berbangga diri memiliki anggaran pendidikan lebih dari target 20%, namun pengalokasian seperti ini menggambarkan bagaimana bentuk ketidakperhatian penyelenggara negara di NTT terhadap dunia pendidikan dengan permasalahan yang ada, serta tidak sinkronnya masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan dengan bentuk penanganan lewat kebijakan anggaran yang dilakukan Eksekutif maupun Legislatif.
Selain itu, timbul kesan seolah dunia pendidikan di Nusa Tenggara Timur tidak bisa berjalan bila tidak ada intervensi anggaran dari pusat. Menjadi pertanyaan disini, apabila alokasi dana BOS dari pusat ini hilang, akan menjadi seperti apa dunia pendidikan di Nusa Tenggara Timur?
Pertanyaan ini muncul tak kala kita mengamati besaran anggaran yang dialokasikan RAPBD lewat dinas PPO sebesar 2,5% dari total Belanja Daerah, dalam penjabarannya tergambar jelas modus perampokan uang rakyat secara terencana.
Dari alokasi Belanja Daerah pada Dinas PPO sebesar Rp. 58.367.348.000,- pada kode rekening 1.01.1.01.01.00.00.5 hampir seluruhnya merupakan belanja untuk operasional aparatur negara termasuk didalamnya Belanja Perjalanan Dinas yang diselipkan dalam setiap nama program. Dari uang puluhan milyard rupiah tersebut, dalam Penjabaran RAPBD NTT tahun 2013 hanya terdapat Rp. 42.500.000, - (0,07%) yang pengalokasiannya langsung pada masyarakat lewat Belanja Bantuan untuk Sekolah, sedangkan sisanya Rp. 58.324.848.000 (99,93%) dihabiskan oleh aparatur negara, diantaranya Rp. 4.095.703.000,- (7,02%) yang dialokasikan untuk Perjalanan Dinas.
Miris sekali bila kita mencermati data yang ada, di Nusa Tenggara Timur terdapat 19.781 anak usia sekolah yang tidak bersekolah, lebih dari 62.000 lainnya tidak mampu melanjutkan sekolah, sehingga total sekitar 82.000 anak terbengkalai pendidikannya. Sebanyak 930.000 lebih anak usia sekolah saat ini tidak sepenuhnya menikmati pendidikan di sekolah yang jumlahnya diperkirakan sekitar lebih dari 5.502 (http://chelluzpahun.wordpress.com/2012/06/04/10-besar-daerah-dengan-kasus-putus-sekolah-tertinggi/). Ini berarti, Pemerintah Daerah NTT baik Eksekutif maupun Legislatif hanya mengalokasikan Rp. 45 lebih bagi setiap peserta didik yang membutuhkan penanganan, itupun bila dana ini tersalur 100% sampai pada penerima sebenarnya tanpa disalahgunakan.
Selain itu dalam program-program yang ada terdapat berbagai kejanggalan, serta model program yang secara terencana berupaya menghamburkan uang rakyat tanpa ada indikator yang jelas. Misalnya Program “Peningkatan Mutu Jam Belajar Siswa” yang dari alokasi anggaran sebesar Rp. 415,722.000, dihabiskan hanya untuk Honorarium PNS, Transportasi dan Akomodasi, Publikasi, Makan Minum Kegiatan dan Perjalanan Dinas atau 100% untuk aparatur. Lalu akankah ada peningkatan mutu jam belajar siswa dengan banyaknya uang rakyat yang dihabiskan seperti ini? Apakah yang menjustifikasi kegiatan ini nantinya bisa membuat jam belajar siswa lebih bermutu? Lalu bermutu seperti apa jam belajar yang ditargetkan program ini? Jelas ini adalah bentuk perampokan uang rakyat secara terencana.
Model kebijakan anggaran sebagaimana disebutkan, tentunya sangat berbanding terbalik dengan target Pemerintah Daerah NTT untuk Bebas Buta Aksara pada Tahun 2016, dimana saat ini jumlah Buta aksara di NTT berjumlah 179.273 orang, serta bertentangan dengan arahan RPJMD NTT 2009-2013 yang berbicara tentang pemberatasan buta aksara dan pembangunan yang responsif gender.
Berbagai permasalahan diatas, dapat disinyalir sebagai alasan pembenar, mengapa Nusa Tenggara Timur selalu berada pada peringkat ke 31 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 33 provinsi di Indonesia, dimana Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT 67,75%, masih sangat jauh bila dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tingkat nasional yaitu sebesar 72,60%.
0 komentar:
Posting Komentar