Ilustrasi @ Angin Selatan/Facebook.com |
Hal
ini terlihat secara praktis politik di Papua bahwa kalau ada yang
condong kepada faham “Garuda,” orang tersebut dicap oleh “Cenderawasih”
sebagai penghianat alias “yudas,” perjuangan Papua; dan bila ada yang
cenderung berbicara tentang Papua Merdeka, maka “Garuda” menjulukinya
separatis, suversi dan pengacau keamanan bangsa. Pemahaman ini tidak
dapat disangkal karena ia sudah ada diwaktu lalu, di setiap hati orang
Papua.
Tanpa
disadari oleh kita bahwa perbedaan persepsi semacam ini merupakan
“pupuk” yang menyuburkan perpecahan di kalangan manusia Papua. Jangan
salah, bila hal ini sering dipakai Indonesia untuk merancang strategi
politik yang sistematis dalam rangka menghancurkan nasionalisme orang
Papua menuju pada sebuah tekat kemerdekaan rasnya.
Fakta sejarah membuktikan bahwa perjuangan Papua Merdeka hingga saat ini
belum berjalan maksimal karena perbedaan persepsi itu. Ketika 1965,
perjuangan Papua merdeka oleh OPM, ada saja ditemui sejumlah manusia
Papua yang ikut terlibat menjadi antek-antek Indonesia. Berbagai
fasilitas, uang dan wanita menjadi hadia mempesona bagi mereka.
Kesenangan para “yudas” Papua ini begitu asik di atas penderitaan
saudaranya sendiri.
Beberapa aktivis OPM harus ditangkap dan dimasukan dalam sel tahanan,
bahkan ada pula yang harus mati, itu semua terjadi karena ulah para
“Yudas,” Papua itu. Mengapa bisa terjadi? Seorang aktivis OPM yang
pernah juga merasakan pahitnya penderitaan selama 14 tahun di LP
kalisosok Surabaya menutur “Bagaimana kita bisa menuju pada titik
kemerdekaan dalam kebersamaan, bila saudara-saudara kita menjadi
penghianat terhadap perjuangan hati nuraninya sendiri.
Penghianat itu bukan saja ada di antara kelompok perjuangan kita, tetapi
mereka yang dulu sekian lama berjuang untuk kemerdekaan, akhirnya harus
kembali menghianati nilai perjuangan yang selama itu ditekuninya.
Mereka itu ibarat seekor “anjing” hitam yang kembali menikmati muntah
makanan yang dikeluarkan dari lambungnya!” Mendengar pernyataan ini saya
begitu terheran karena si aktivis tersebut memang benar-benar
mengungkapkan sakit hatinya terhadap beberapa rekan perjuangannya yang
telah kembali ke Indonesia, dan mengakui kedaulatan NKRI atas Papua.
Lalu, teringatlah saya akan beberapa aktivis Papua yang telah kembali
mengakui eksistensi Indonesia di atas tanah Papua, seperti Nicolas
Jouwe, Nick Messet, Frans Albert Joku, Alex Mebri dan masih ada yang
lain lagi. Mudah-mudahan saya tidak berat sebelah dalam menilai
keputusan mereka. Tetapi, mungkin saja menurut pendapat saya mereka
telah kehilangan pengharapan akan datangnya kebebasan itu, saat berjuang
di negeri-negeri diaspora tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
“Perbedaan itu boleh-boleh saja, tetapi ingat, komitmen itu jangan
sekali-kali sampe berubah, sebab hanya dialah yang menjadi motivator
dalam perjuangan kita menuju kebebasan Ras Papua.”
Apa bilah tulisan diatas ini, kurang mengenangkan harap maklumi dan
Tulisan diatas ini juga sebagai bahan diskuisi bagi Orang Papua. (Mecky
Y)
============================================
Sumber:http://www.umaginews.com
============================================
Sumber:http://www.umaginews.com
0 komentar:
Posting Komentar