Historiografi Indonesia masi menghadirkan historiografi parsial mengisahkan mengenai muatan politis-ideologis.[1]
Di dalam penulisan sejarah seperti itu tampak dimana peritiwa sejarah
bukan pergerakan nasional diabaikan dalam pembelajaran di sekolah. Hal
itu tampak sebagai bukti penjajahan, karena dengan begitu, individu,
kelompok masyarakat tertentu dianggap tidak memiliki sejarah atau
dianggap tidak berhak memiliki sejarah[2][3] Sedangkan Kata Indonesia yang diperkenalkanG.W. Eart, J.R Logman dan Adolf Batian (Jerman) jauh sebelum
dalam historiografi Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi, sejarah masyarakat atau wilayah di Indonesia dianggap baru dimulai bersamaan dengan perlawanan mereka terhadap ekspansi militer, politik atau ekonomi bangsan Barat. Orang Dayak dan orang Papua misalnya dianggap tidak memiliki sejarah sebelum mereka berintegrasi dengan orang luar.
dalam historiografi Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi, sejarah masyarakat atau wilayah di Indonesia dianggap baru dimulai bersamaan dengan perlawanan mereka terhadap ekspansi militer, politik atau ekonomi bangsan Barat. Orang Dayak dan orang Papua misalnya dianggap tidak memiliki sejarah sebelum mereka berintegrasi dengan orang luar.
sumpah
Pemuda 1928 menyepakati identitas kebangsaan, namun hingga kini
kebangsaan Indonesia belum tuntas, dan orang Papua saat itu tidak pernah
terlibat dalam kegiatan ini. Sedangakan Indonesia sebagai negara
modern baru diproklamasikan pada tahun 1945 dan saat itu Papua Barat,
masih merupakan daerah yang diperdebatkan dan orang Papua tidak telibat
juga dalam penentuan wilayah Papua. Sedangkan Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia
baru tahun tahun 1949 sebagai negara RIS (Federasi), minus Papua
Barat. Tampak agak rancu, bilah dengan sejarah anakronis seolah-olah
ada kesepakantan sejarawan, politikus dan negarawan menyepakati
kesatuan Indonesia atas dasar Majapahit, Sriwijaya, Makassar pada masa
Hasanudin, Maluku pada masa Pattimura, atau Cut Nyak Dien sebagai
bagian dari sejarah Indonesia karena dijajah Belanda. Namun jangan lupa
bahwa saat itu mereka tidak mengenal kata Indonesia, negara dan bangsa Indonesia.[4]
Menurut Bambang Widjojanto dalam buku Cahaya Bintang Kejorah,
karya Junus Adijondro mengatakan bahwa selama ini tindakan penggelapan
nasionalisme juga terjadi di berbagai wilayah lain. Seperti apa sih,
nasionalismenya orang di seputar kepulauan Timur atau masyarakat adat
di Kalimantan serta
daerah lainnya? Dalam konteks Papua, kelompok terpelajar, bersama
rakyatnya telah pembentuk 8 Patai politik, selanjutnya pada tanggal
pada tanggal 16 Februari 1961 dibentuk Dewan Nieuw Guinea selesai dilantik untuk mengatur diri sendiri.[5] Kemudian tanggal 5 April 1961dilakukan pelantikan Dewan Nieuw Guinea
serta menyepakati simbol kebangsaan dan kenegaraan Papua dan kemudian
pada pada tanggal 1 Desember 1961 terjadi pengibaran Bendera, Bintang
Fajar diiringi lagu kebangsaan ”Hai Tanahku Papua”. Dalam hal ini,
Veldkamp Frits mengakui jiwa dan semangaat nasionalisme orang-orang
Papua Barat. “ banyak orang Papua terpesona pada bayangan Nugini-Belanda
kelak mandiri”.[6]
Frits mengakui pula : “berbeda dengan saya, hadirin lain tahu,
terutama beberapa anak muda mengucapkan pidato yang nasionalis dan
bersemangat, menyambut gembira lahirnya Papua Barat (Irian Barat) yang
merdeka”.[7]
Indonesia di Mata Orang Papua Krits
Integrasi
Papua dalam pelukan ibu pertiwi Indonesia bagi orang Papua, tampaknya
melahirkan beban sejarah, bilah melihat kenyataan Trikora (1961),
perjanjian New York (1962) maupun Pepera (1969) dan resolusi PBB Nomor
2504 tampak bukan komitmen dekolonisasi untuk membebaskan rakyat Papua
dari Penjajahan Belanda. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah proses
Re- Kolonisasi Tanah Papua oleh Indonesia. Bangsa
Papua adalah korban kospirasi politik “aneksasi” yang dilakukan oleh
Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, dan Perserilatan Bangsa-Bangsa.[8] Pemerintah
dan militer Indonesia tampak lebih berupaya keras agar orang Papua
mengikuti kemauan Jakarta melepaskan identitas diri mereka dan mengakui
simbol-simbol NKRI mewakili identitas kebangsaan orang Papua, seperti
penggunaan bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya, Bahasa Indonesia,
lambang negara Pancasila dan UUD 1945. Meskipun, simbol-simbol itu sama
sekali tidak mewakili identitas mereka, namun tampaknya harus diterima
agar tidak dilebeli separatis dan menjadi garapan militer Indonesia
naik Pangkat setelah membunuh pejuang Papua. Upaya pemerintah dan
militernya adalah orang Papua supaya menyangkal diri dan melupakan,
identitas etnik dan budaya sendiri, melupakan sejarahnya, bahkan
identitas negara mereka. Sejak tahun 1960-an hingga sekarang,
pemerintah Indonesia tampak memandang diri sebagai pejuang dan pahlawan yang datang untuk
membebaskan orang Papua dari penjajahan Belanda. Sebaliknya tidak
menutup kemungkinan orang Papua selalu melihat pemerintah Indonesia
sebagai penajajah baru, imperialisme baru yang datang untuk membangun
negara RI di atas negara Papua Merdeka yang telah mulai disiapkan.[9] Oleh karena itulah, maka pendudukan Indonesia atas wilayah Papua Barat dianggap sebagai wujud penjajahan. Sehingga sudah tentu rakyat Papua Barat mempunyai perasaan bahwa mereka sedang dijajah.[10] Seorang
mantan pegawai pemda tingkat I Papua pernah mengatakan, bahwa
penjajahan sebenarnya ialah pemerintah Indonesia yang telah menghalangi
kemerdekaan orang Papua lalu menindas orang Papua hingga dewasa ini.[11]
Osborne (2001; 3000) melalui bukunya “Kibaran Sampari”
menuliskan bahwa: Rakyat Papua Barat yang pernah dijajah Belanda dapat
merasakan bahwa metode yang digunakan Indonesia dalam menganeksasi dan
kemudian menjajah Papua Barat justru jauh lebih kejam dibandingkan
Belanda.[12] Kekerasan militer yang terjadi sejak tahun 1961 dan seterusnya meninggalkan memoria passionos.[13] Seorang intelektual akademisi, M. Cholil, (1971) menjelaskan, bahwa operasi
militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia secara
faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara
Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan
infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan
kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya
pemerintahan Belanda atas Papua Barat.[14]
Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara
nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup ke Papua. Wajah
pertama Indonesia di Papua Barat diwakili oleh sepak terjang para
pasukan infiltran ini.[15]
Penderitaan rakyat Papua Barat tampak mejadi bukti, Indonesia merebut Papua Barat dari tangan Belanda bukan merupakan apirasi atau keinginan kebanyakan orang Papua. Setelah Trikora, dilakukan Orde Lama, kemudian Amiruddin al Rahab[16]
menjelaskan bahwa, Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua
sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan
seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi
militer di Kodam dan jajarannya mendominasi ranah politik dan jalannya
pemerintahan di Papua. Papua dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM).[17] Keinginan merdeka lepas dari penjajah masih melekat di hampir setiap rakyat
pribumi Papua, karena selama berintegrasi martaban, harga diri dan Hak
Asasi Mayarakat Papua Barat tidak dihargai dan dihormati secara wajar
dan manusiawi. Dengan alasan demi pembangunan bangsa dan demi keutuhan
negara kesatuan Indonesia, masyarakat Papua barat di intimidasi,
diperkosa, dipukul, dan ditahan tanpa melalui proses hukum; bahkan
dibunuh dan dibantai seperti mangsa yang diterkam harimau lapar.[18]
Yakubus Dumupa, “Berburu Keadilan di Tanah Papua Barat”
menuliskan pembantaian yang telah menjadi buah bibir korban dan saksi
yang kehilangan ayah, ibu dan kerabatnya akibat kekejaman brutal
militer di Tanah Papua Barat, bahwa: Militer Indonesia adalah musuh
kedua ke dua. Pemerintah menjalankan tujuan busuknya di Papua Barat
dengan memakai militer sebagai barisan terdepan untuk melegalkan segala
cara agar tujua itu dapat tercapai. Di Indonesia, yang mengakui negara
demokrasi ini, peran militer sangant dominan. …banyak orang Papua yang
telah dibunuh secara sengaja oleh Indonesia telah mencapai 100 ribu
jiwa menurut perhitunagan Amnesti Internasional, tetapi menurut sumber
lain hingga mencapai 1,5 juta jiwa. Jika saya boleh juga menghitung,
maka menurut saya jublah rakyat Papua Barat yang telah dibunuh oleh
Indonesia lebih dari 100 ribu jiwa. Alasan saya tidak terlalu muluk
(sederhana), yaitu karena kedua jumlah tersebut itu merupakan jumlah
yang pernah diketahuai didata, dan dihitung, sedangkan jumlah korban
jumlah korban yang tidak pernah diketahui, didata, dan dihitung sangat
banyak. Mereka di hilangkan, dibuang dikubur secata sengaja dan
tersembunyi. Jumlah koran tidak bisa diketaui secara pasti karena
keadaan alam Papua Barat yang sangat sulit dijangkau. Kondisi alam
semacam ini sangat konduktif bagi aksi militer Indonesia, sehingga
rakyat Papua Barat semakin kuat untuk mengungkap semua aksi pembunuhan
rakyat Papua Berat oleh Indonesia. Aksi militer Indonesia di Papua
Barat dijalankan dengan berbagai cara. Secara umum ada dua cara, yaitu
secara terang-terangan dan (kasar dan keras) dan secar
sembunyi-sembunyi (halus dan tersembunyi). Secara terang-terangan dan
kasar militerIndonesia menjalankan aksinya dengan mudah. Mengapa?
Karena militer Indonesia hanya menyatakan dan memberikan suatu julukan
kepada calon mangsanya, yaitu
seperti separatis/GPK/ TPN/OPM. Julukan ini sudah dangan sah menurut
hukum militer Indonesia, sehingga tidakan selanjutnya adalah pembunuhan.
Terkadang pembasmian dilakukan secara langsung (ditembak, ditikam, dan
lain-lain), tetapi kadang secara pelahan yang didahului tindakan teror
intimidasi, penyisaandan diakhiri dengan pembunuhan. Penyiksana yang
dilakukan militer Indonesia dengan berbagai cara, di antara memasukan
besi besi panas kedubur hingga tembus kekepala, memotong alat kemaluan pria dan wanita setelah diperkosa, mencopot jantung, merobek perut ibu hamil dan janin bayinya dipotong-potong, mebakar janggot pria dengan lilim, memotong
salah satu daging bagian tubuh lalu dijadikan sate dan diberkan kepada
seseorang untuk dimakan, dan tinfakan brutal lainnya. Semua itu merupakan kekejaman militer Indonesia terhadap rakyat Papua Barat. [19]
Osborne
yang melakukan penelitian mendapatkan mendapatkan data yang dibuat
oleh OPM, mengenai Operasi Tumpas yang dilakukan ABRI di Papua Barat.
Detailnya, Osborne mencatat sebagai berikut: Tentara membakar
rumah-rumah dan gereja-gereja di setiap desa yang dilewatinya. Babi
serta ayam ditembak tanpa perasaan, laki-laki, perempuan dan anak-anak
yang tidak bersalah ditembak dan dibunuh…Di kampung Dila, seorang
kepalasuku bernama Nalogoan Kibak digorok bagai kambing dan darahnya
ditampung dalam sebuah ember. Setelah itu, Letkol Soekemi- komandan
militer untuk wilayah Nabire memaksa para pemuka suku, guru-guru dan
pastor yang berada ditempat itu meminum darah tersebut dibawah todongan senjata
seperti oleh perampok, tidak seperti layaknya prajurut yang tahu hukum
perang. Di desa Kuyuwagi, tentara di bawah komando Kapten Rudy
mengepung dan membombardir, bahkan setelah dibuhu dengan bayonet, perut
orang-orang tersebut dirobek dan isinya dikeluarkan, kemudian
dibelitkan ditongkat kayu seperti tali. Sesudah itu, batu, kubis, dan
daun-daun dimasukan kedalam tubuh mereka, kemudian jasad mereka
ditinggalkan seperti seperti layaknya binantang liar yang tidak ber
jiwa. Para wanita yang sedang hamil dibayonet kemaluannya dan dirobek
sampai bagian dada, dan bayi mereka dipotong menjadi dua bagian. Para
lelaki yang telah ditembak, dipotong kemaluannya kemudian dimasukan kemulut para wanita, sedangkan dimulut para lelaki ditaruh kemaluan dan anus.[20]
Pengalaman
dalam cengkraman militer Indonesia merupakan pengalaman pahit yang tak
akan pernah terlupakan dalam sejarah Papua. Orang Papua merasa
diperlakukan tidak sebagai manusia yang menjadi objek operasi militer.[21] Menurut
laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang
dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar
di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa
sebelum mereka ditembak mati. Semenjak
Indonesia masuk ke tanah Papua, hampir tiap hari terjadi pelanggaran
HAM. Papua telah dijadikan ladang pencarian kekayaan alam seperti emas,
tembaga, minyak dan lain-lain. Selain itu di sana juga ada hasil hutan
dan lahan kosong yang segera dipadati oleh orang luar. Akibatnya orang
Papua sendiri disingkirkan dengan berbagai akal busuk. Banyak tahanan
politik diperlakukan secara tidak manusiawi oleh polisi dan militer
khususnya selam masa penahanan. Pihak militer Indonesia pun harus
bertanggung jawab atas eksekusi ekstrayudisial dan penghilangan nyawa
aktivis maupun para simpatisan Papua Barat dan Papua New Guinea.”[22] menurut data Dr. K Kees Lagerberg bahwa: “(-+) 300.000 penduduk telah hilang tanpa bekas. Sehingga diperkirakan bahwa dari
jumlah penduduknya 700.000 pada tahun 1960 dan (-+) 1.000.000 orang
ditahun 1980, 30% jumlah dilangkan secara tak manusiawi. Jumlah ini
dapat diperoleh dari rincian sebagai berikut: yang selamat dari bom
udara (-+) 80.000 orang, melarikan diri mengungsi (1984-1985) (-+)
13.000, dibunuh (-+) 13.000. Sehingga dapat ditotalkan (-+) 160.000.
lalu ke mana yang lainnya pergi? Jika kita memerhatikan tingakat sistem
kesehatan untuk penduduk desa, dapat disimpulkan bahwa penurunan
jumlah penduduk itu begitu cepat, secara langsung mupun tidak langsung,
sebagai hasil kebijakan buatan manusia. Diawal tahun untuk menguasai
teritori, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melenyapkan kaum elite
Papua yang telah menganyam pendidikan. Hal ini disebabkan adanya
ketakutan pada kaum ini yang akan menghalangi proses integrasi. Program
KB nasional yang menghendaki jumlah keluarga kecil juga merupakan cara
licik bagi ras Papua.”[23]
Pertumbuhan
demografi orang Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program
nasional. Transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua. [24] Dr. K Kees Lagerberg, Genosida
yang lebih mengerikan tapi tidak secara langsung adalah penghabisan
pelayanan kesehatan, juga penyakit yang dapat dicegah tapi pasiennya
dibiarkan saja hingga meninggal, translokal yangh dipaksakan dari daerah
pedalaman ke pesisir pantai yang lebih rawan terhadap ancaman penyakit
malaria seperti: orang Amungme disekitar area PT. Freeport. Cara lain
adalah merampas tanah yang subur. Bahwa demi pengamanan modal
pembangunan demikian diterapkan systematic violent, systematic killings and systematic destruction, yang kaibatnya bertujuang untuk genocide
agar masyarakat pribumi jangan mengganggu pembangunan yang memihak
kepentingan penguasa dan warga pendatang. pertumbuhan demografi orang
Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program nasional.
transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua. [25]
Papua merupakan lumbung makanan, Indonesia itu takut akan kehilangan lumbung makanan dan berat melepaskan Papua Barat. Karena
itu, jatuhnya ribuan korban tampak diakui aktivis Papua sebagai hukum
revolusi, orang Papua justru bukan menghentikan gerakan memperjuangkan
Papua merdeka, melainkan telah turut menyuburkan tumbuhnya semangat
nasionalisme untuk keluar dari NKRI, dan semakin menya dari bahwa orang
Papua memiliki hak menentukan nasib sendiri agar bisa menyelesaikan
masalah HAM, ekonomi, pendidikan, sosial dan sebagainya yang selama ini
dikuasai oleh penjajah dan memojokan orang Papua. Meskipun “Papua
Barat harga mati NKRI” bagi jakarta, namun kemerdekaan bagi rakyat
Papua juga nampaknya adalah menjadi harga mati yang terus diperjuangkan
kelopok nasionalis dan seluruh lapisan masyarakat pro Papua merdeka,
minus kaki tangan pemerintah Indonesia. Sehingga tampak konflik Politik
Papua merupakan nasionalisme berdampak pada pembabangunan ekonomi,
politik, pendidikan, budaya. Baru 8 tahun terakhir sejak bergulis
Otonomi Daerah Indonesia tampak secara serius memperhatikan pembangunan Papua, tetapi tetap ada unsur ekonomi-politik dampak dari itu pembangunan
kurang berpihak kepada penduduk asli Papua, yang terjadi malahan
perang antar suku akibat pecah belah untuk membunuh kesadaran membangun
nasionstate.
* Disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Citraleka, Ilmu Sejarah, Fakultas Sejarah USD, pada hari Sabtu 15 November 2008.
** Penelitih tentang Lahirnya Nasionalisme Papua Tahun 1961-1988.
[1] Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris? Yogyakarta : Ombak, 2006,
Hlm. xiii
[2] Ibid. hlm. xiv
[3] Ibid. 35
[4] Ibid. hlm. xv.
[5] Socratez Sofyan Yoman. 2005. hlm, 39
[6] Pim Shoorl, Frits Veldkkamp. 2001 hlm. 528.
[7] Ibid, Pim Shcoorl, Frits Veldkkamp. 2001. hlm. 533.
[8] Yoris Raweyai. hlm. I
[9] Benny Giay. Menuju Papua Baru: Pokok-Pokok Pikiran Sekita Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Els-Ham Papua. 2001, hlm. 68
[10]
Bunyying Time Diplomacy: Liku-Liku Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat
(Kasus Suaka Politik Papua Barat di Australia), Yogyakarta Java Media,
2007, hlm 51
[11] Beny Giay, op.cit, hlm. 69-70
[12] Osborne, Kibaran Sampari, Jakarta: Elsham. 2001. hlm. 300.
[13] Theo van den Broek OFM dkk. Kondisi Hak Azasi Manusia Di Tanah Papua Serta Perkembangan Aspirasi Papua Merdeka Gambaran Tahun 1999. Jayapura: Sekertariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura. terbitan No.9 2000. “MEMORIA PASSIONIS”
(Ingatan Penderitaan). Mengunjungi pelosok-pelosok tanah Papua, dengan
mudah kita dapat mendengar kisah-kisah sejarah penderitaan yang keluar
dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat dengan tajam dan jernih
mencatat rekaman peristiwa-peristiwa ini: “Di sungai ini kami punya
bapa dibunuh; di lereng gunung itu dulu ada sejumlah kampung yang
dikasih habis sama ABRI; di lapangan itu tete moyang kami dulu dipaksa
untuk membakar koteka karena dianggap primitif; gunung itu dulu kami
punya sekarang orang sudah kasih rusak kami punya mama; dulu kami
gampang cari binatang di hutan tapi sekarang kami tidak boleh masuk
karena katanya milik perusahaan yang dilindungi Undang-undang negara;
kami punya anak tidak bisa maju karena guru-guru di sekolah hampir
tidak ada, susah dapat obat karena mahal; dsb. dst.” Cerita-cerita ini
tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi
ke generasi. Nada dasar segala ungkapannya: “kami dinilai bukan
manusia”. Artinya, “kami tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi
sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek
pengembangan ekonomi, obyek turisme, dsb. Itulah sudah”.
[14] Drs. M. Cholil, Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat, Puser ABRI - Dephankam, 1971.
[15] Amiruddin al Rahab, 2006, hlm 3.
[16] Peneliti
di ELSAM, Jakarta dan inisiator Pokja Papua yang mendalami masalah hak
asasi manusia dan militer serta politik lokal, spesialisasi masalah
separatiseme dan gerakan perlawanan di Papua.
[17] Amiruddin al Rahab, op.cit.
2006, hlm 3. pada catatan kaki dikatakan bahwa, istilah ABRI atau TNI
sangat terkait konteks waktunya. Dalam tulisan ini istilah itu dipakai
saling bergantian. Bahkan juga dipakai istilah insitusi militer atau
insituasi keamanan.
[18] Frits Bernard Ramandey, Generasi Tanpa Angkatan, Papua Barat: AJI – Papua, 2005, hlm 124.
[19] Yakobus F. Dumupa. Berburu Keadilan di Papua. Yogyakarta, Pilar Media, 2006. hlm, 166-170
[20] Osborne. Op.cit. 2001. hlm.149-150
[21] Benny Giyai, op,cit.
2000, hlm 8-9.Dalam pandangan Benny, hari merdeka itu adalah hari
datangnya kebahagian sehingga penderitaaan tidak lagi menjadi hari-hari
orang Papua. Selain itu, Benny juga meyakini bahwa hari itu akan
datang sebagaimana kosmologi orang Papua yang meyakini bahwa waktu
berputar antara susah menuju senang …
[22] MarkRumbiak Arwam. op,cit. 2003, hlm 128.
[23] Ibid. MarkRumbiak Arwam op,cit.
2003 “Kees Lagerberg, dalam catatan ini akan dibeberkan berbagai
pembunuhan terhadap orang Papua. Meskipun tidak lengkap sama sekali.
Berbagai kasus diperoleh dari berbagai sumber seperti tulisan yang
dipublikasikan (buku, surat kabar, jurnal) laporan tertulis lisan dari para korban maupun para pengamat selama 30 tahun yang lalu.”
[24] Frits Bernard Ramandey, op.cit, 2005, hlm 124.
[25] Frits Bernard Ramandey, op.cit. hlm 124.
(Pito)
===================================
Sumber:http://pitoowa.blogspot.com
===================================
Sumber:http://pitoowa.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar